Langsung ke konten utama

Posisi Duduk Seorang Ustad dan Dosen (Framing Foto)

Jadi sedikit tergelitik untuk berkomentar dan menganalisis posisi duduk antara seorang ustad dan dosen, khususnya saat mereka berhadapan dengan anak didiknya. Pikiran ini begitu saja terlintas saat tanpa sengaja saya melihat sebuah foto yang diposting di beranda facebook. Foto ini sebenarnya diposting oleh salah seorang ustad saya di pesantren. Fotonya masih fresh alias baru diposting beberapa jam yang lalu.

Ini dia fotonya


Dalam foto itu terlihat beberapa santriwan (sebutan untuk santri putra) yang sedang mengelilingi sang ustad. Mereka juga terlihat sedang menyimak salah seorang temannya yang mendapat tugas untuk membacakan penjelasan dalam buku panduan yang mereka pegang. Demikian pula yang dilakukan oleh sang ustad. Sang ustad tersebut juga menyimak santrinya yang sedang membaca kitab, sembari terus mendengar dengan seksama, apakah yang dibaca oleh santrinya tersebut tepat pelafalannya (karena biasanya yang namanya pesantren, mata pelajaran yang dipelajari rata-rata menggunakan buku panduan berbahasa arab).

Nah, yang ingin saya komentari dalam foto itu adalah, bagaimana posisi antara ustad dengan para santrinya. Dalam foto itu terlihat, sang ustad duduk lebih tinggi dari para santrinya. Hal tersebut tentunya bukan karena sang ustad takut kotor, lalu lebih memilih untuk duduk di kursi, sementara santrinya memilih duduk beralaskan tanah. Menurut saya itu bukan alasan yang tepat. Mengapa? Ya, tentunya banyak dari kita sudah tahu bagaimana seorang santri itu dididik. Pendidikan yang diterima oleh seorang santri biasanya sedikit berbeda.

Berdasarkan pengalaman, seorang santri itu tidak hanya dididik untuk menjadi pribadi yang mandiri saja, namun juga dididik untuk menjadi pribadi yang berkualitas. Dalam hal ini khususnya perihal akhlak, ibadah dan keimanannya. Menilik foto di atas, pilihan santri untuk duduk beralaskan tanah itu lebih pada perihal akhlak. Seorang santri diajarkan untuk bisa menghormati yang lebih tua, apalagi jika itu adalah guru atau ustadnya, yang sudah menjadi orang tua kedua bagi mereka. Seorang santri juga selalu diajarkan agar bersikap sopan dan santun kepada yang lebih tua. Jadi tidak etis rasanya jika ada santri yang lantas menyamakan kedudukannya dengan ustadnya.

Tapi lain hal lagi kalau yang berada dalam foto tersebut adalah dosen dan mahasiswa-mahasiswanya. Mungkin pandangan yang berbeda akan kita temui. Sebab transfer ilmu dari dosen dan kepada mahasiswa itu kadang bisa dikatakan lebih enak dan nyambung, kalau dosen itu bisa menyampaikan ilmunya secara lebih santai dan tidak monoton. Proses transfer ilmu dari dosen kepada mahasiswa jika hanya dilakukan di ruang kelas saja tentunya terlalu monoton dan membuat mahasiswa mudah bosan. Belum lagi jika di dalam kelas itu ternyata mahasiswanya ada beberapa yang melanglang ke alam mimpi, suasana dalam kelas pasti akan terasa beda.

Namun, jika proses transfer ilmu dari dosen kepada mahasiswa itu dilakukan secara lebih santai, belajar di luar kelas atau outdoor misalkan, hal itu justru lebih disukai oleh mahasiswa. Selain itu, posisi duduknya seorang dosen yang sejajar dengan mahasiswa, kadang itu juga malah menjadi nilai tambah bagi dosen itu sendiri. Sebab mahasiswa akan lebih nyaman dalam berinteraksi dengan sang dosen, saat mereka berdiskusi atau menanyakan materi kuliah yang tidak mereka ketahui. Selain itu, mahasiswa biasanya juga lebih menyukai dosen yang bisa dekat dan bergaul dengan mahasiswanya. Atau lebih tepatnya mungkin, tidak memberi jarak antara dirinya dengan mahasiswa dalam proses mentransfer ilmu yang dimilikinya.

Kita bisa ambil contoh dari gambar di bawah ini, yang saya ambil dari laman uty.ac.id


Foto kedua di atas ini terlihat sangat berbeda bukan dengan foto pertama tadi...?! Suasana yang lebih hangat dan akrab terlihat dalam foto kedua ini. Bagaimana mahasiswa berdiskusi dengan dosennya, dan bagaiamana dosen memberikan penjelasan serta argumennya kepada mahasiswa, terlihat lebih akrab dan tidak monoton.

Jika kedua foto di atas dibandingkan, memang sangat terlihat jelas perbedaannya. Seorang ustad memposisikan dirinya sebagai orang yang bisa memberikan ilmunya secara menyeluruh kepada para santrinya. Menanamkan pendidikan moral dan karakter kepada mereka sejak dini, menjadi tempat bertanya bagi para santrinya dan proses transfer ilmu 90 persen memang hanya berasal dari sang ustad. Karena itulah kenapa seringkali kita lihat jika seorang ustad dalam menyampaikan ilmunya kepada santrinya, posisi duduknya lebih tinggi daripada santrinya. Sementara untuk dosen dan mahasiswa, proses transfer ilmu itu bukan waktunya lagi hanya berjalan satu arah. Karena mahasiswa pun juga saat ini dituntut tidak hanya menjadi konsumen ilmu, namun juga produsen ilmu. Dan posisi duduk antara dosen dan mahasiswa yang dapat mencerminkan hal tersebut adalah dengan duduk bersama secara sejajar.  :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2 Ide Abstrak

Tidak peduli apa yang orang katakan padamu, kata dan ide bisa mengubah dunia. (Robbin Williams Dari film Dead Poet's Society) Ngomong-ngomong tentang ide, saya punya dua ide abstrak. Bisa jadi dua ide ini beberapa tahun yang akan datang akan menjadi kenyataan dan akan kita temui di dunia nyata. Dua ide yang mencuat dari pikiran saya itu adalah: 1. Ada alat yang bisa merekam mimpi manusia saat ia tertidur. 2. Ada alat yang bisa memanggil dengan kata kunci tertentu saat kita membaca Koran.  Baiklah, akan saya jelaskan dulu mengapa saya sampai punya dua ide itu. Pertama , saat saya atau kita semua dalam kondisi tidur, ada waktu dimana pikiran kita berada di dunianya sendiri, yakni dunia mimpi. Saat itu kita hidup di dunia kedua kita, alam mimpi. Berbagai macam hal tak terduga dan tak terdefinisi di dunia nyata akan kita temui dalam dunia kedua itu. Bahkan, bentuk-bentuk dan rupa-rupa manusia atau makhluk hidup lainnya tak menutup kemungkinan akan kita temui pula. Ambi

Dakwah Kontekstual di Era Digital

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Berkembangnya globalisasi di dunia ini baik dari segi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya telah menjadikan kehidupan manusia mengalami alienasi , keterasingan pada diri sendiri atau pada perilaku sendiri, akibat pertemuan budaya-budaya yang tidak sepenuhnya terintegrasi dalam kepribadian umat manusia. Selama masih ada manusia yang hidup di muka bumi ini, selama itu pula lah satu hal yang dinamakan Dakwah itu perlu ada bahkan wajib ada. Karena setiap muslim berkewajiban untuk berdakwah, baik sebagai kelompok maupun individu, sesuai dengan kemampuan masing-masing, dalam segi ilmu, tenaga, dan daya. Dengan derasnya arus globalisasi yang juga menimpa umat islam, pelaksanaan dakwah seperti mengejar layang-layang yang putus. Artinya hasil-hasil yang diperoleh dari dakwah selalu ketinggalan dibanding dengan maraknya kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah konsep dakwah yang sesuai dengan perkembangan

Mengukir Senja Di Suramadu #Part 2

Lomba Blog "Ide Untuk Suramadu" Mencari Sudut Terindah Deru mesin pesawat Air Asia mulai terdengar bising disertai tangisan seorang anak kecil, yang mengaku telinganya kesakitan. Beberapa kali kursi yang kududuki ikut sedikit berguncang, saat moncong kemudian diikuti badan pesawat mulai menyentuh gumpalan-gumpalan awan putih. Ketinggian pesawat juga mulai menurun perlahan. Dua orang pramugara dan tiga pramugari mulai berdiri dari tempatnya duduk. Mereka mulai menyisir semua tempat duduk penumpang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sembari terus melempar senyum, mereka berkata ramah, " Bapak, Ibu, penumpang pesawat Air Asia mohon semua alat elektroniknya dinonaktifkan. Dalam waktu lima belas menit lagi kita akan segera melakukan pendaratan. Dan mohon sabuk pengamannya dikenakan kembali. Terima kasih. " *Kurang lebih begitulah kata-kata yang kudengar dari mereka. Tapi jika kurang, ya bisa ditambah-tambah sendiri. Kalau lebih, simpan saja dah ya kelebihan