Langsung ke konten utama

Cerbung - Jejak Pertama

Part III

Nadia perlahan melangkah maju menyibak tirai yang menutupi pintu. Kirana masih tetap bergeming dan menunggu Nadia. Sementara Freya berjalan mondar mandir di hadapan Kirana. Langkah Nadia terhenti tepat di belakang pintu. Matanya melebar melihat pintu itu. Mulutnya sedikit terbuka, menandakan kepanikan dalam dirinya. 

"Nadia, apa yang kamu lakukan di situ? Kenapa lama sekali? Cepat ambil kunci pintunya...!" teriak Freya.

"K...k...kuncinya tidak ada!" kata Nadia sambil berlari ke luar, lalu berteriak lagi, "Kuncinya hilang...! Kunci pintunya sudah diambil...!"

"Apa? Mana mungkin penyusup itu mengambil kunci pintunya. Untuk apa dia mengambil itu? Tidak Nad, pasti ada kuncinya. Pasti masih ada di sana kunci pintunya. Kamu cari sekali lagi di pintunya atau di sekitar pintu itu. Mungkin kuncinya terjatuh di sekitar pintu," Freya masih tidak percaya kata-kata Nadia. Ia bersikeras bahwa kunci itu masih ada di tempatnya dan tidak diambil.

Kirana memberanikan diri mendekati pintu dari arah depan. Ia memicingkan matanya untuk memastikan kata-kata Nadia. Dari sela-sela kosen pintu yang terbuka itu, Kirana melihat yang sesungguhnya. 

"Kak! Kak Nadia benar. Kunci pintunya sudah tidak ada," kata Kirana dengan nada datar dan lemas.

"Apa...?" Freya sekali lagi berteriak panik.

"Kak Freya, bagaimana ini? Kita harus bagaimana...?"

Kepekatan malam semakin menambah aura kengerian dan kejahatan. Angin laut yang berhembus terasa semakin menusuk dan menyakitkan. Freya dan Nadia hanya bisa saling berpandangan, menyiratkan kengerian tak terbayangkan yang akan mereka hadapi malam itu. Rumah kuno yang mereka tinggali itu tak dilengkapi dengan sistem pengaman otomatis seperti rumah kebanyakan di masanya. Jika kunci rumah itu hilang, hilang pulalah pertahanan rumah tersebut dari segala hal yang mengancamnya. Begitu pula dengan rahasia yang terkubur di dalam rumah itu. 

Kirana yang terduduk di lantai hanya membisu. Ia masih memikirkan sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. Bukan masalah baginya kunci rumah kuno itu hilang atau tidak. Bukan hal itu yang ia cemaskan saat ini. Karena pertahanan yang jauh lebih penting itu sebenarnya ada di dalam rumah itu sendiri. Sementara Kirana tak tahu apakah satu-satunya pertahanan keluarganya itu masih tersimpan ama di dalam rumah tua tersebut. 

Sementara dua sosok lain yang saling tak mengenal, masih memperhatikan ketiga perempuan muda yang tengah kebingungan. Dari balik sebuah pohon besar, lelaki yang masih membawa kain penutupnya memandang gelisah ke arah mereka bertiga. Matanya tak henti-henti memandang dua penjuru yang berbeda. Kirana, Freya, Nadia, dan juga seorang lelaki besar yang tengah berdiri di balik rerimbun tanaman di seberang jalan. 

*****

Dari balik jeruji malam. Sepasang bola mata berlari ke sana kemari, mengamati sekelilingnya yang dipenuhi dengan benda-benda aneh tak bernyawa. Sesekali ia melirik monitor kecil di sampingnya, seolah menunggu sesuatu terjadi. Sesekali, matanya mengarah ke pintu kecil berbentuk setengah lingkaran yang berada tak jauh dari hadapannya. Pria itu sedang menunggu seseorang yang diminta untuk membawa pesanannya.

Pria berpakaian serba putih itu berjalan mondar-mandir. Beberapa hal yang ditunggunya tak kunjung juga menampakkan hasil. Ia masih mengamati benda yang ada di hadapannya. Selama beberapa menit ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba pintu di ruangannya berdecit. Seseorang dengan pakaian hitam seperti ninja memasuki ruangan itu.

"Maaf Profesor, saya terlambat," ujar sosok berbaju hitam itu, sambil menyerahkan sebuah benda kecil berwarna kuning.

Pria yang dipanggil Profesor itu hanya diam saja. Ia kemudian duduk menghadap monitor kecil yang ada di meja kerjanya.

"Kenapa kau hanya membawa ini saja? Bagaimana dengan Kirana, dimana dia?" tanya lelaki berumur 60 tahun yang dipanggil Profesor. 

"Maaf Profesor, aku tidak sempat membawanya pergi bersama. Ada orang lain yang sepertinya juga mengincar benda itu dan Kirana."

"Hm... kalau begitu, beberapa hari lagi kembalilah ke sana. Kita tidak punya banyak waktu."

"Baik Profesor. Saya mengerti," jawab lelaki berbaju hitam yang wajahnya mulai terlihat jelas. "Tapi Profesor, apakah saya hanya akan membawa Kirana? Bagaimana dengan kedua saudaranya?"

"Justru jika kita tidak memisahkan mereka, itu akan lebih membahayakan baginya. Sudahlah. Kau urus saja Kirana, kedua kakaknya biar aku yang urus," ujar Profesor itu dengan suara yang agak meninggi.

"Baiklah Prof," kata lelaki itu lagi. "Ah, Professor! Tentang orang lain yang saya katakan tadi, sepertinya ia memiliki maksud jahat. Dia memperhatikan Kirana dengan sorot mata tajam dan mematikan. Tatapannya juga membuat saya bergidik, bagaimana jika orang itu masih di sana, Profesor. Apakah Kirana dan kedua kakaknya akan baik-baik saja?"

"Ya, aku tahu siapa dia. Aku sudah meminta teman-temanmu yang lain untuk berjaga-jaga di sana."

Dalam keremangan ruangan itu, seorang lelaki paruh baya berusia 50 tahun tergeletak tak berdaya di atas kaca transparan berbentuk persegi. Tubuhnya dipenuhi selang-selang kecil dengan tabung udara yang menutupi mulut dan hidungnya. Wajahnya yang putih tampan berubah kebiruan. Lebam di wajahnya tak bisa menyembunyikan bahwa ia telah mengalami penyiksaan yang cukup menyakitkan. Seperik darah mengering di hidungnya yang runcing dan mancung. Sementara itu, dari bawah jahitan di perutnya sepanjang 5 cm itu, tubuhnya kaku dan mati. 

***

 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengukir Senja Di Suramadu #Part 2

Lomba Blog "Ide Untuk Suramadu" Mencari Sudut Terindah Deru mesin pesawat Air Asia mulai terdengar bising disertai tangisan seorang anak kecil, yang mengaku telinganya kesakitan. Beberapa kali kursi yang kududuki ikut sedikit berguncang, saat moncong kemudian diikuti badan pesawat mulai menyentuh gumpalan-gumpalan awan putih. Ketinggian pesawat juga mulai menurun perlahan. Dua orang pramugara dan tiga pramugari mulai berdiri dari tempatnya duduk. Mereka mulai menyisir semua tempat duduk penumpang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sembari terus melempar senyum, mereka berkata ramah, " Bapak, Ibu, penumpang pesawat Air Asia mohon semua alat elektroniknya dinonaktifkan. Dalam waktu lima belas menit lagi kita akan segera melakukan pendaratan. Dan mohon sabuk pengamannya dikenakan kembali. Terima kasih. " *Kurang lebih begitulah kata-kata yang kudengar dari mereka. Tapi jika kurang, ya bisa ditambah-tambah sendiri. Kalau lebih, simpan saja dah ya kelebihan...

Pesan Dari Orang Asing

Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba ada pesan masuk di inbox facebook milikku. Bukan pesan dari teman-teman yang terdaftar jadi temanku di fb. Tapi pesan itu datangnya dari seseorang yang belum aku kenal, dan dilihat dari namanya, itu seperti nama orang luar negeri. Dia pun mengirimkan pesan dalam bahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang terbatas ini, aku hanya mengerti bahwa dia ingin berkenalan denganku dan ingin mengirimkan pesan berikutnya melalui email. Awalnya perkenalan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Dia seorang perempuan yang mengaku berasal dari negara Sudan, Afrika. Tapi kemudian dia berada di kamp sementara di Negara Senegal. Karena menurut yang ia ceritakan, ayah dan ibunya meninggal dunia saat terjadi kerusuhan di negara Sudan. Hingga akhirnya ia mengungsi ke Negara Senegal. Setelah menceritakan tentang kondisi keluarganya, ia memintaku untuk menceritakan padanya tentang diriku. Apa yang aku sukai, apa yang tidak aku sukai, hobi, dan aktivitasku s...

Tulisan Beritaku Dimuat Di Media Online…

Nggak nyangka..benar-benar nggak nyangka. Tulisan berita tentang Langgam Jawa yang kemarin aku buat ditemani sedikit rasa kantuk, ternyata dimuat dibeberapa media berita online. Mungkin ini salah satu keuntungannya aku berada di biro humas UMY. Meski hari pertama aku kaget dan sedikit syok mungkin. Sebab, baru hari pertama sudah disuruh untuk membuat berita. Memang sih, di bangku kuliah aku sudah mendapatkan materi kulih tentang teknik reportase, penulisan berita, penataan surat kabar, editing dan formatologi, tapi tetap saja aku masih kaget. Mungkin karena jangka waktu atau deadline pengumpulan beritanya berbeda, jadi sedikit membuatku syok. Jika di kuliah deadline berita itu 1 minggu, tapi kalau di biro humas ya 1 hari itu juga.. Tapi dari sini aku ternyata bisa belajar, bagaimana aku harus bisa menyelesaikan tulisan berita yang ditugaskn untuk selesai pada hari itu juga. Rasa kantuk, mandek mau nulis apa lagi, perut keroncongan, merasa kurang informasi pendukung beri...