Jejak Pertama
Part 4
by: Ittazura Nauqi
"Ini pasti sebuah teror. Ya, ini pasti teror dari orang yang kita kenal. Kirana, apa yang kamu lakukan di situ? Pikirkan jalan keluar untuk kita, jangan hanya berdiam diri saja!" seru Freya.
"Sabarlah Kak, aku juga sedang berpikir," jawab Kirana. Aku juga sedang memikirkan kondisi ayah. Dimana dia sekarang?
Kirana seolah tahu bahwa ayahnya mungkin juga dalam keadaan bahaya. Namun Kirana tak bisa memastikan hal tersebut. Ayahnya sudah pergi sehari sebelum kejadian di rumahnya. Kirana tak tahu kemana ayahnya itu pergi. Ia hanya tahu bahwa ayahnya telah menitipkan sesuatu pada dirinya. Dan ia percaya jika sesuatu yang dititipkan ayahnya itu masih berada di dalam rumah kuno tersebut.
"Oke, oke. Kakak akan sabar, tapi kakak tidak harus berdiam diri sepertimu."
Freya kemudian berlari meninggalkan Kirana dan Nadia. Dalam kegelapan malam itu, Freya berlari ke arah barat. Ia mencoba mencari pertolongan pada siapapun yang mungkin saja didapatinya masih terjaga.
Angin laut mengibas-ngibas rambut hitamnya yang lurus. Seratus meter dari tempatnya pergi, ia tak menemukan satu rumah pun yang terjaga. Semuanya gelap. Hingga akhirnya pada jarak lima ratus meter dari rumahnya, ia berpapasan dengan seorang lelaki bertubuh ramping dan tegap.
"Tolong kami, rumah kami diteror oleh seseorang yang tak kami tahu siapa dia," ujar Freya dengan nafasnya yang berhembus satu persatu.
"Dimana rumah kalian?" tanya lelaki itu.
"Lima ratus meter dari sini."
"Baiklah. Aku akan ikut denganmu, tunjukkan jalannya padaku."
Keduanya lantas berjalan beriringan. Lelaki itu mencoba mengikuti langkah Freya yang tergesa. Setibanya di rumah yang Freya maksudkan, lelaki itu dengan sigap memeriksa seluruh bagian ruangan. Namun tak ada satu pun yang membuat lelaki itu merasa janggal. Sekalipun ada jejak kaki yang menempel di lantai dekat pintu masuk rumah itu, ia hanya berpikir bahwa jejak itu dibuat oleh rekannya sendiri.
"Apakah kalian merasa kehilangan sesuatu di sini?" tanya lelaki itu kemudian.
"Kami rasa tidak ada," jawab Nadia. "Kami sudah memeriksa seluruh barang-barang yang ada di rumah ini, dan tidak ada satu pun yang hilang. Semuanya masih utuh dan rapi. Hanya kunci pintu rumah ini saja yang berhasil dibawa kabur orang aneg itu."
"Lalu apa yang dia cari di sini? Ini sungguh tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera melaporkannya pada Polisi. Pasti mereka tahu, siapa pemilik jejak kaki ini dan kita akan tahu apa motif sebenarnya orang aneh itu." Freya kembali berkata dengan menggebu-gebu.
Namun lelaki yang datang membantu mereka menanggapi perkataan Freya dengan tenang. "Tak ada gunanya kau melaporkannya pada Polisi. Mereka pasti hanya akan mengatakan kalau kejadian malam ini hanyalah teror biasa. Bukan teror yang berbahaya. Lagipula, tak ada barang yang hilang di dalam rumah ini."
"Lantas apa yang diinginkannya dengan cara meninggalkan jejak kaki seperti ini?" Freya kembali bertanya setengah gusar, dengan mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke ceceran jejak kaki di sebelahnya.
Kirana yang hanya diam mendengarkan percakapan dua orang tersebut beringsut ke depan. Ia mencondongkan tubuhnya dan mendekati ketiga orang itu. Dengan wajah pasrah namun penuh keyakinan, ia tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat ketiganya tersentak.
"Aku tahu apa yang orang itu inginkan!" kata Kirana.
"A__apa?! Kirana, kamu jangan bercanda!" Freya terlihat gusar menanggapi pernyataan dingin adiknya. "Bagaimana kamu tahu apa yang orang itu inginkan? Apa hubunganmu dengan kejadian malam ini? Kamu pasti mengetahui sesuatu. Kirana, cepat katakan apa yang kamu tahu!"
"Maaf Kak, aku belum bisa mengatakannya." Wajah Kirana tertunduk lesu.
Malam semakin gelap. Suara kendaraan yang sebelumnya lalu lalang, mulai menghilang satu persatu. Jalanan sepi. Lampu-lampu terang di dalam rumah bergiliran padam. Hanya menyisakan lampu jalanan dengan sedikit cahaya.
Lelaki yang ditemui Freya di pinggir jalan, menyodorkan sebuah kartu nama padanya. "Ikutlah bersamaku. Rumah ini sudah tidak aman lagi."
"Baiklah. Kami bertiga akan ikut bersamamu," Freya berkata pelan. "Tapi apakah kamu bisa memastikan bahwa kami akan baik-baik saja jika ikut denganmu?"
"Ya, kalian berdua akan baik-baik saja. Profesor kami sudah menyiapkan tempat yang aman bagi kalian."
"Apa yang kamu katakan tadi? 'Kalian berdua'? Apa hanya dua orang diantara kami bertiga yang bisa ikut bersamamu?"
"Benar," jawab lelaki itu lagi. "Nona Freya dan Nadia, kalian berdualah yang akan ikut bersamaku."
"Tapi... bagaimana dengan Kirana?" tanya Freya.
"Akan ada seseorang yang menjemputnya besok pagi. Untuk malam ini Nona Kirana akan menunggunya di rumah ini."
"Apa? Kau bilang tadi kalau rumah ini sudah tidak aman. Tapi kenapa kamu malah meminta Kirana untuk menunggunya di dalam rumah ini?" Nadia bertanya tak habis pikir dengan permintaan lelaki itu.
"Nona Kirana lebih tahu tentang rumah ini. Dia juga lebih tahu, dimana dia harus menunggu dan bersembunyi."
"Sudahlah Kak, turuti saja apa yang dia katakan. Aku akan baik-baik saja di sini. Percayalah," Kirana mencoba meyakinkan kedua kakaknya. Ia percaya kalau semuanya akan segera berakhir.
"Lantas apa yang diinginkannya dengan cara meninggalkan jejak kaki seperti ini?" Freya kembali bertanya setengah gusar, dengan mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke ceceran jejak kaki di sebelahnya.
Kirana yang hanya diam mendengarkan percakapan dua orang tersebut beringsut ke depan. Ia mencondongkan tubuhnya dan mendekati ketiga orang itu. Dengan wajah pasrah namun penuh keyakinan, ia tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat ketiganya tersentak.
"Aku tahu apa yang orang itu inginkan!" kata Kirana.
"A__apa?! Kirana, kamu jangan bercanda!" Freya terlihat gusar menanggapi pernyataan dingin adiknya. "Bagaimana kamu tahu apa yang orang itu inginkan? Apa hubunganmu dengan kejadian malam ini? Kamu pasti mengetahui sesuatu. Kirana, cepat katakan apa yang kamu tahu!"
"Maaf Kak, aku belum bisa mengatakannya." Wajah Kirana tertunduk lesu.
Malam semakin gelap. Suara kendaraan yang sebelumnya lalu lalang, mulai menghilang satu persatu. Jalanan sepi. Lampu-lampu terang di dalam rumah bergiliran padam. Hanya menyisakan lampu jalanan dengan sedikit cahaya.
Lelaki yang ditemui Freya di pinggir jalan, menyodorkan sebuah kartu nama padanya. "Ikutlah bersamaku. Rumah ini sudah tidak aman lagi."
"Baiklah. Kami bertiga akan ikut bersamamu," Freya berkata pelan. "Tapi apakah kamu bisa memastikan bahwa kami akan baik-baik saja jika ikut denganmu?"
"Ya, kalian berdua akan baik-baik saja. Profesor kami sudah menyiapkan tempat yang aman bagi kalian."
"Apa yang kamu katakan tadi? 'Kalian berdua'? Apa hanya dua orang diantara kami bertiga yang bisa ikut bersamamu?"
"Benar," jawab lelaki itu lagi. "Nona Freya dan Nadia, kalian berdualah yang akan ikut bersamaku."
"Tapi... bagaimana dengan Kirana?" tanya Freya.
"Akan ada seseorang yang menjemputnya besok pagi. Untuk malam ini Nona Kirana akan menunggunya di rumah ini."
"Apa? Kau bilang tadi kalau rumah ini sudah tidak aman. Tapi kenapa kamu malah meminta Kirana untuk menunggunya di dalam rumah ini?" Nadia bertanya tak habis pikir dengan permintaan lelaki itu.
"Nona Kirana lebih tahu tentang rumah ini. Dia juga lebih tahu, dimana dia harus menunggu dan bersembunyi."
"Sudahlah Kak, turuti saja apa yang dia katakan. Aku akan baik-baik saja di sini. Percayalah," Kirana mencoba meyakinkan kedua kakaknya. Ia percaya kalau semuanya akan segera berakhir.
***
Komentar
Posting Komentar