Part II
Daun yang menari dalam kegelapan, menemani langkah kaki Kirana saat keluar dari sebuah rumah kuno bercat kuning. Rumah itu terlihat seperti bangunan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda. Rumah itu tergolong unik dan langka. Karena pemiliknya enggan mengganti desain rumah itu dengan desain rumah yang lebih modern di abad 22. Rumah kuno itu juga terlihat paling mencolok dibandingkan rumah-rumah berderet lainnya yang berada seratus meter di kanan kirinya.
Sementara pada waktu bersamaan, sepasang mata yang sejak beberapa menit siaga, mulai melangkah maju. Sosok berbaju hutam itu mulai menantang jalan. Menyebrangi jalan raya dengan lalu lalang kendaraan.
Sejenak langkahnya terhenti. Tepat di balik dedaunan yang menyelimuti pagar rumah kuno itu. Namun, sedetik kemudian, ia kembali mengayunkan kakinya. Menyelinapkan tubuhnya melalui pagar yang setengah terbuka. Sembari memperhatikan punggung Kirana yang perlahan berlalu.
"Kali ini aku harus berhasil," bisik sosok hitam itu pada dirinya sendiri.
Badannya yang tinggi besar itu kini berdiri di depan altar bangunan tua itu. Setenang mungkin ia mulai beranjak maju. Menyibak tabir yang menutupi pintu. Mata hitamnya menyelisik ke segala penjuru.
"Ah, sial!" gerutunya.
Baru di pertengahan ia menjejakkan kakinya, terdengar seretan langkah lain di luar, Menyadari hal itu, ia pun beringsut pergi, dan mengambil sesuatu dari balik badannya. Sejurus kemudian, ia menutupi badannya dengan selembar kain.
Perlahan, seretan langkah itu mulai mendekat. Ia tahu kemana arah langkah itu menuju. Semakin dekat, dan akhirnya terhenti. Ia masih menunggu.
Dari balik kain itu, sorotan tajam dari matanya tak henti-henti memperhatikan apa yang terjadi. Tirai di depannya tersingkap. Pemilik langkah itulah yang menyingkap tirai itu. Namun ia tetap bergeming di balik penutupnya. Sembari terus menatap seorang perempuan yang berjarak beberapa langkah darinya. Satu hal yang ia tahu, wajah perempuan cantik itu terlihat pucat pasi dan tubuhnya bergetar.
"Sepertinya aku mengenali wajah itu, tapi dimana?" sosok hitam yang tersembunyi dalam sehelai kain itu bertanya sendiri. Dan memanggil lagi memori di kepalanya. Ia mengernyitkan dahi mengingat-ingat lagi perempuan itu.
"Bukankah dia... Ah, mungkinkah dia yang Profesor maksudkan ittu?"
Sosok hitam yang kini tak terlihat itu masih terus memperhatikan perempuan itu. Menerka-nerka apa yang sebenarnya perempuan itu takutkan. Dirikukah atau ada orang lain? Ah, tapi dia tak mungkin bisa melihatku. Saat tatapan matanya kembali menelisik ke segala penjuru melalui persembunyiannya, ia melihat ada sosok lain yang juga berdiri di sisi ruang lainnya. Badannya tegap dan tinggi besar. Matanya cekung disertai alis yang sangat tebal. Tulang pipinya terangkat dan menjadikan wajahnya yang kehitaman semakin terlihat menyeramkan. Sementara dua bola matanya yang kemerahan memandang tajam ke arah perempuan itu.
"Ya Tuhan... siapa orang itu? Aku harus segera menyelamatkan perempuan itu darinya."
Lelaki yang berada di balik penutup itu mencoba melangkah keluar dari persembunyiannya. Perlahan ia hentakkan kakinya, mencari celah agar bisa segera sampai pada sosok dengan seringai menyeramkan itu. Ia berpikir tak mungkin baginya untuk menyerangnya dari kejauhan. Namun menyerangnya dari jarak dekat juga terlalu beresiko. Tapi ia tetap melangkah perlahan.
Saat punggungnya membelakangi wanita yang ingin diselamatkannya, langkahnya pun terhenti. Mencoba mengambil ancang-ancang untuk menyerang dari baik jubah yang melindunginya. Namun saat serangannya siap meluncur, gerakannya tiba-tiba terhenti. Lelaki dengan tatapan menyeramkan itu, menghilang bersama kegelapan malam yang menyelimutinya.
***
Komentar
Posting Komentar