Langsung ke konten utama

Tempe Ala Swiss!

Ada orang Swiss yang bisa bikin tempe! 

Ana Larderet namanya. Ia bilang bisa bikin tempe karena terkesan dengan tempe di Yogyakarta. Ketika itu, tahun 2010, ia mengikuti program pertukaran pelajar ke Yogyakarta, tepatnya di Universitas Gadjah Mada. Ana sebenarnya seorang mahasiswi di Fakultas Hubungan Internasional Universitas Saint Gallen, Swiss Timur, yang punya cita-cita bekerja di perusahan besar dengan gaji mahal. Namun, karena ia terkesan dengan rasa tempe makanan khas Indonesia ini, Ana nekat banting setir mengubah cita-citanya menjadi seorang produsen tempe terbesar di Eropa.

Sungguh cita-cita yang bukan main lagi besarnya. Sekalipun ia bukan orang asli Indonesia, tapi punya keinginan menduniakan makanan khas Indonesia ini.

Nah, di sisi lain, ternyata ada juga orang Indonesia yang tinggal di Swiss dan sama-sama memproduksi tempe (walau masih produksi rumahan). Hanya saja, ada perbedaan mencolok diantara orang-orang ini. Perbedaannya adalah pada cita-cita tingginya memasarkan produk tempe ke seantero jagat Eropa.

Miris sebenarnya, saat membaca artikel itu di koran, lalu dituliskan pernyataan dari orang Indonesia itu sendiri. Ia katakan bahwa dirinya tidak punya cita-cita membangun pabrik atau memasarkan secara besar-besaran produksi tempenya. Karena menurutnya, pasar Swiss tidak menjanjikan untuk makanan khas Indonesia yang satu ini! (mentalnya sudah seperti tempe).

Lain halnya dengan Ana. Ia melihat ada peluang di bisnis tempe itu. Karena ternyata banyak orang-orang di Swiss, baik itu yang dari Indonesia atau pun penduduk asli sendiri yang suka dengan tempe. Sementara itu, untuk mendapatkan tempe di Swiss bukan perkara mudah. Jika pun ada, tempe yang tersedia tak lebih dari tempe yang kurang segar karena diimpor dari Belanda, dan tidak kontinu datangnya. Selain itu, tempe yang ada itu juga ada dalam botol yang rasanya lebih mirip tempe yang lama direndam air cuka. Sehingga, kehadiran tempe Ana ini menjadi barang mewah dan disukai oleh banyak orang Swiss, selain harganya murah, tempe buatan Ana juga lebih segar dan selalu ada. Karena itu, Ana bertekad untuk menjadi produsen tempe utama di Eropa. Ia berkata, "Saya ingin menjadi pelopor pertama produsen tempe terbesar di Eropa." Dan ambisinya ini ia wujudkan dengan cara belajar cara membuat tempe pada Rustono, orang Indonesia yang sukses mendirikan pabrik tempe di Negeri Sakura.

Lantas, bagaimanakah nasib orang-orang Indonesia di Swiss yang telah lebih dulu memproduksi tempe rumahan, tapi tak pernah berambisi untuk menjadi pelopor pertama produsen tempe di Eropa? Apakah mereka tidak malu dengan ambisi Ana Larderet yang bukan asli Indonesia, tapi kepincut dengan makanan khas Indonesia, TEMPE! Kalau saya sih, malu! Tak tahu lagi dengan Anda.

Komentar

  1. Waw, tak sangka. kirain hanya nasi padang yang menjamur disana, hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, tempe juga punya cita rasa tersendiri sepertinya. sampai2 orang Swiss kepincut pingin produksi besar2an di Eropra.. :D

      Hapus
  2. sudah terlihat kelas orang indonesia dibanding orang eropa yambak,pantesan kita selalu terbelakang.thx sharingnya dan salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul.. miris banget tadi baca koran, eh tau2 orang indonesiany komentarnya pesimis begitu..

      siip.. sami2.. :D salam kenal juga :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengukir Senja Di Suramadu #Part 2

Lomba Blog "Ide Untuk Suramadu" Mencari Sudut Terindah Deru mesin pesawat Air Asia mulai terdengar bising disertai tangisan seorang anak kecil, yang mengaku telinganya kesakitan. Beberapa kali kursi yang kududuki ikut sedikit berguncang, saat moncong kemudian diikuti badan pesawat mulai menyentuh gumpalan-gumpalan awan putih. Ketinggian pesawat juga mulai menurun perlahan. Dua orang pramugara dan tiga pramugari mulai berdiri dari tempatnya duduk. Mereka mulai menyisir semua tempat duduk penumpang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sembari terus melempar senyum, mereka berkata ramah, " Bapak, Ibu, penumpang pesawat Air Asia mohon semua alat elektroniknya dinonaktifkan. Dalam waktu lima belas menit lagi kita akan segera melakukan pendaratan. Dan mohon sabuk pengamannya dikenakan kembali. Terima kasih. " *Kurang lebih begitulah kata-kata yang kudengar dari mereka. Tapi jika kurang, ya bisa ditambah-tambah sendiri. Kalau lebih, simpan saja dah ya kelebihan...

Pesan Dari Orang Asing

Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba ada pesan masuk di inbox facebook milikku. Bukan pesan dari teman-teman yang terdaftar jadi temanku di fb. Tapi pesan itu datangnya dari seseorang yang belum aku kenal, dan dilihat dari namanya, itu seperti nama orang luar negeri. Dia pun mengirimkan pesan dalam bahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang terbatas ini, aku hanya mengerti bahwa dia ingin berkenalan denganku dan ingin mengirimkan pesan berikutnya melalui email. Awalnya perkenalan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Dia seorang perempuan yang mengaku berasal dari negara Sudan, Afrika. Tapi kemudian dia berada di kamp sementara di Negara Senegal. Karena menurut yang ia ceritakan, ayah dan ibunya meninggal dunia saat terjadi kerusuhan di negara Sudan. Hingga akhirnya ia mengungsi ke Negara Senegal. Setelah menceritakan tentang kondisi keluarganya, ia memintaku untuk menceritakan padanya tentang diriku. Apa yang aku sukai, apa yang tidak aku sukai, hobi, dan aktivitasku s...

Tulisan Beritaku Dimuat Di Media Online…

Nggak nyangka..benar-benar nggak nyangka. Tulisan berita tentang Langgam Jawa yang kemarin aku buat ditemani sedikit rasa kantuk, ternyata dimuat dibeberapa media berita online. Mungkin ini salah satu keuntungannya aku berada di biro humas UMY. Meski hari pertama aku kaget dan sedikit syok mungkin. Sebab, baru hari pertama sudah disuruh untuk membuat berita. Memang sih, di bangku kuliah aku sudah mendapatkan materi kulih tentang teknik reportase, penulisan berita, penataan surat kabar, editing dan formatologi, tapi tetap saja aku masih kaget. Mungkin karena jangka waktu atau deadline pengumpulan beritanya berbeda, jadi sedikit membuatku syok. Jika di kuliah deadline berita itu 1 minggu, tapi kalau di biro humas ya 1 hari itu juga.. Tapi dari sini aku ternyata bisa belajar, bagaimana aku harus bisa menyelesaikan tulisan berita yang ditugaskn untuk selesai pada hari itu juga. Rasa kantuk, mandek mau nulis apa lagi, perut keroncongan, merasa kurang informasi pendukung beri...