BAB
I
PENDAHULUAN
Politik yang
adil bagi setiap umat dimaksudkan sebagai
pengaturan urusan negara dalam menerapkan sistem dan peraturan yang menjamin
keamanan bagi individu dan golongan serta untuk merealisasikan kemaslahatan
Islam. Dasar-dasar Islam dijadikan acuan sistem keadilan untuk merealisasikan
kemaslahatan manusia disetiap zaman dan tempat. Hal itu merupakan bukti dari
Al-Quran dan Al-Hadis, yang menjadi dasar dan sumber utama Islam, meskipun
Al-Quran tidak menjelaskan sistem tersebut secara rinci, tetapi menetapkan
dasar-dasar dan kaidah-kaidah kulliyah tentang sistem pengaturan urusan umat
dalam tatanegara Islam atau pemerintahan.
Politik Islam
adalah aktifitas politik yang didasari oleh nilai/prinsip Islam, baik dari
titik tolak (starting point),program, agenda, tujuan, sarana dan lainnya harus
sesuai dengan petunjuk Islam. Oleh karenanya, di lapangan, politik Islam harus
tampil beda dengan politik non Islam. Jika politik konvensional bisa
menggunakan cara apa saja untuk mencapai tujuannya, maka politik Islam tidak
boleh demikian. Ada variabel lain yang harus diperhatikan, seperti etika Islam,
ketentuan hukum Islam dan lain sebagainya.
Sebagai agama
yang diturunkan oleh Allah SWT yang bersifat syamil ‘menyeluruh’, kamil
‘sempurna’, dan mutakamil ‘menyempurnakan’, tidak ada satupun sisi
kehidupan manusia yang tidak diatur dalam Islam, termasuk di dalamnya masalah
politik.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian
Pengertian secara umum dari politik diartikan sebagai urusan yang
ada hubungan lembaga yang disebut negara. Pemerintahan dapat diartikan sebagai
politik. Inilah pengertian politik yang paling umum dan kentara. Sehingga
belajar tentang ilmu politik berarti belajar mengenai lembaga-lembaga politik,
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Inilah definisi yang sampai sekarang masih
tetap bertahan.
Politik berasal dari bahasa Latin politicus
dan bahasa Yunani politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan
warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis yang
bermakna kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998), pengertian politik
sebagai kata benda ada tiga. Jika dikaitkan dengan ilmu maka artinya (1)
pengetahuan tentang kenegaraan (tentang sistem pemerintahan, dan dasar-dasar
pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan ( kebijaksanaan, siasat dan
sebagainya) mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain; dan(3) kebijakan,
cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Jadi dapat
dikatakan bahwa hakikat politik itu adalah perilaku manusia baik berupa
aktivitas ataupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan
tatanan suatu masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan (Abd. Muin Salim, 1994:
37).
Adapun
definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan
(kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum
Islam. Di
dalam Islam, kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm. Perkataan al-hukm
dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut digunakan 210 kali dalam
Al-Quran. Dalam bahasa Indonesia, perkataan al-hukm yang dialih
bahasakan menjadi hukum intinya adalah peraturan, undang-undang, patokan atau
kaidah, dan keputusan (vonis) pengadilan.
- Politik dalam Pandangan Barat
Dalam bidang filsafat politik,
pemikiran politik Barat sangat dipengaruhi oleh para filsuf Yunani dan Romawi
Kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Dalam ranah politik ini,
pokok-pokok pemikiran Barat terformulasikan ke dalam prinsip-prinsip pemisahan
politik dengan etika, agama dengan hukum, pembedaan kedudukan antara masyarakat
dengan negara, kedaulatan politik dan personalitas negara dalam pembuatan
hukum.
Oleh karena itu bagi orang Yunani
klasik terutama Aristoteles, negara tidak hanya dipahami sebagai suatu bentuk
organisasi sosial yang keberadaannya dapat diterima atau ditolak tergantung
pada kebutuhan-kebutuhan tertentu pada sebuah masyarakat tertentu, tetapi
negara juga tidak terlepas dari sudut pandang yang lebih luas, yakni melibatkan
segi-segi ethos dan psikologi manusia. Asumsi yang dianggap sebagai
dasar (basis) pemikiran politik pemikiran politik Yunani itu merupakan bukti
yang ditemukan dalam berbagai tulisan Plato dan Aristoteles.
Plato misalkan memberikan teori
politiknya dengan menunjukkan bahwa keadilan yang sebenarnya hanya dapat
terwujud dalam konteks negara Republik, konsep yang ditawarkannya
tentang negara. Negara itulah yang memadukan filsafat dan kekuatan politik.
Sedangkan Aristoteles mengatakan bahwa pemenuhan berbagai kebutuhan biologis,
sosial dan etika manusia hanya dapat terwujud jika ia tergabung dalam aneka
asosiasi (perhimpunan), yang bermula dari keluarga dan berakhir pada negara.
Karena segala sesuatu ditentukan oleh tujuan akhirnya, teleologi.
Keanggotaan dalam sebuah masyarakat sipil sebagai prasyarat bagi aktualisasi
segenap kemampuan manusia seutuhnya. Oleh karena itu, manusia yang berada di
luar asosiasi politik akan gagal menunjukkan sifat-sifat dan potensi-potensi
manusiawinya, atau bahkan ia akan berperilaku melebihi binatang buas atau dewa
(Tuhan).
Para ilmuwan barat yang lain memandang
bahwa ketika kita berbicara politik,
berarti kita berbicara tentang kekuasaan. Harold Laswell dalam “Who Gets
What, When and How” mengatakan bahwa politik adalah masalah siapa
mendapatkan apa, kapan dan bagaimana mendapatkannya.
- Islam dan Politik
1.
Sejarah Pemikiran
Politik Islam
Pemikiran politik Islam pada umumnya
merupakan produk “perdebatan besar” yang terfokus pada masalah religi politik
tetang Imamah dan Kekhalifahan. Pemikiran dan permasalahan politik ini sudah
ada sejak zaman Nabi Muhammad saw. masih hidup.
Dalam teori maupun praktik, Nabi
saw. menempati suatu posisi yang unik sebagai pemimpin dan sumber spiritual
undang-undang Ketuhanan, namun sekaligus juga pemimpin pemerintahan Islam yang
pertama. Kerangka kerja Konstitusional pemerintahan ini terungkap dalam sebuah
dokumen terkenal yang disebut dengan “Konstitusi Madinah” atau “Piagam
Madinah”.
Dalam dokumen tersebut terdapat
langkah pertama dan amat penting bagi terwujudnya sebuah badan pemerintahan
Islam atau Ummah. Piagam tersebut juga memuat beberapa konsep penting
diantaranya yakni mengenai konsep suku tentang pertalian darah digantikan
dengan ikatan iman yang bersifat ideologis. Menyuguhkan landasan bagi prinsip
saling menghormati dan menghargai antara orang-orang Islam dan “orang-orang yang
mengikuti, bergabung dengan dan, berjuang bersama mereka”. Mereka, yang
dimaksud dalam pembukaan piagam itu adalah masyarakat Yahudi Madinah.
Menurut konstitusi itu pula,
orang-orang Islam dan semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam suatu
masyarakat (pasal 1) yang secara fisik dan politis berbeda dengan
kelompok-kelompok lain (pasal 1 dan 39). Tidak ada pengertian lain mengenai
siapa yang harus mencegah tampuk pimpinan dalam konfederasi semacan itu. Pada
pasal 23, 36, dan 42 secara tegas menyebutkan Allah dan Nabi Muhammad saw.
sebagai hakim terakhir serta sumber segenap kekuasaan dan kekuatan (wewenang).
Sejak hijrah ke Madinah tahun 622 M
sampai wafatnya beliau pada 6 Juni 632 M, Nabi Muhammad saw. berperan sebagai
pemimpin yang tidak dapat dibantah (unquestionable leader) bagi negara
Islam yang baru lahir tersebut. Sebagai Nabi, beliau meletakkan prinsip-prinsip
agama Islam, memimpin shalat serta menyampaikan berbagai khutbah. Sebagai
negarawan, beliau mengutus duta ke luar negeri, membentuk angkatan perang dan
membagikan rampasan perang.
Semasa kehidupannya Nabi saw. tidak
pernah menyampaikan wasiat siapa yang berhak menggantikan beliau sebagai
pemimpin negara Islam. Inilah yang menjadi pemicu lahirnya perdebatan sengit
dan berkepanjangan mengenai syarat-syarat Imam atau pemimpin umat Islam.
Setelah masa kenabian Nabi Muhammad
saw. sebagai pemimpin umat Islam kala itu, tampuk kepemimpinan berikutnya
dipegang oleh para sahabat Nabi saw. yang lebih dikenal sebagai era “Khulafaur-
Rasyidin”, yang terdiri dari para sahabat dekat Rasulullah : Abu Bakar
As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Masa-masa itu merupakan cermin kejayaan Islam yang diraih dengan berbagai
perangkat dan tetap selalu berada di bawah prinsip konsultasi dan akomodasi.
Masalah perebutan kekuasaan telah
mulai tampak tajam sejak masa pemerintahan khalifah ke-3, Utsman r.a, hingga
puncaknya pada masa pemerintahan khalifah ke-4, Ali r.a yang di tandai dengan
meletusnya perang Shiffin (657 M) antara Ali dan Muawiyah. Pada periode
inipun tidak terelakkan lagi dari kekerasan dan oerang sipil yang berakhir
dengan terbunuhnya Ali r.a, yang kemudian memunculkan dinasti Umayyah yang
memerintah sejak tahun 661- 749 M. Selama masa-masa pergolakan inilah kita
menemukan kelahiran berbagai ragam faksi politik yang membentuk spektrum
pemikiran politik Islam.
2.
Politik dalam
Pandangan Islam
Secara terminologis, politik atau
siyasah dalam bahasa Arab, merupakan bentuk masdar dari akar kata sasa
–yasusu—siyasatan. Jika dikaitkan dengan masyarakat makna siyasah dapat diartikan sebagai pemeliharaan (riayah),
perbaikan (ishlah), pemberian petunjuk (taqwim) dan pendidikan (ta’dib).
Berbagai makna dari siyasah ini
dikemukakan oleh para ulama Islam, diantaranya ialah yang dikemukakan oleh
Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ad-Daulah, yang mendefinisikan siyasah
syar’iyah sebagai berikut:
“Fiqh Islam
yang mencakup hubungan individu dengan daulah (negara dan pemerintahan), atau
hubungan pemimpin dengan rakyat, hubungan hakim dengan terdakwa, hubungan
kekuasaan dengan masyarakat yang dalam terminologi modern disebut sistem
ketatanegaraan, sistem keuangan, sistem pemerintahan dan sistem hubungan
internasional.”
Pendapat Ibnu Aqil seperti yang
dikutip Ibnu Qayyim Al- Jauziyah mendefinisikan siyasah syar’iyah sebagai:
“segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemashlahatan dan
lebih jauh dari kerusakan, sekalipun Rasul tidak menetapkan dan Allah tidak
mewahyukan. Siyasah yang merupakan hasil pemikiran manusia tersebut harus
berlandaskan kepada etika agama dan memperhatikan prinsip-prinsip umum
syari’at.”
Islam dan politik pada dasarnya dalam wacana pemikiran
kontemporer setidaknya terdapat tiga poros pemikiran yaitu: Pertama, menyatakan bahwa Islam tidak
mengatur persoalan politik. Kedua, Islam mengatur masalah politik sampai kepada
hal spesifik. Ketiga, menyatakan bahwa Islam mempunyai perangkat-perangkat dan
nilai yang mengatur persoalan politik. Namun, secara umum dapat dinyatakan
Islam memberikan rambu-rambu terhadap persoalan politik yang telah dipraktekkan
Rasulullah dan zaman keemasan Islam. Dengan demikian, dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa Islam mengatur terhadap persoalan politik baik itu bagi mereka
yang berpandangan pengaturannya secara eksplisit maupun yang implisit. Hakikat
Politik Islam
Politik
Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara
yang melahirkan sikap dan perilaku (political
behavior) serta budaya
politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta
budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah,
bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas
spiritual Islam.
Sistem Politik
Islam
a.
Asas- asas
Sistem Politik Islam
1.
Hakimiyyah
Ilahiyyah
Hakimiyyah atau memberikan kuasa
pengadilan dan kedaulatan hukum tertinggi dalam sistem politik Islam hanyalah
hak mutlak Allah.
Dan
Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah
segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya
kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (Al-Qasas: 70).
Hakimiyyah Ilahiyyah memberi arti bahwa teras utama sistem
politik Islam adalah tauhid kepada Allah dari segi Rububiyah dan Uluhiyah.
2.
Risalah
Dalam
sistem politik Islam, Allah telah memerintahkan agar manusia menerima segala
perintah dan larangan Rasulullah saw. Manusia diwajibkan tunduk kepada
perintah-perintah Rasulullah saw dan tidak mengambil selain daripada Rasulullah
saw untuk menjadi hakim dalam segala perselisihan yang terjadi di antara
mereka. Firman Allah:
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan
Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr:
7)
Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa’: 65)
3.
Khilafah
Khilafah
berarti perwakilan. Kedudukan manusia di atas muka bumi ini adalah sebagai
wakil Allah. Oleh karena itu, dengan kekuasaan yang telah diamanahkan ini, maka
manusia hendaklah melaksanakan undang-undang Allah dalam batas yang ditetapkan.
Di atas landasan ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik tetapi
hanyalah khalifah atau wakil Allah yang menjadi Pemilik yang benar.
Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti
(mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu
berbuat. (Yunus:
14)
Seseorang
khalifah hanya menjadi khalifah yang sah selama mana ia benar-benar mengikuti
hukum-hukum Allah. Ciri- ciri Sistem Politik Islam
1.
Kekuasaan dipegang penuh oleh umat.
Umat
atau rakyat yang menentukan pilihan terhadap jalannya kekuasaan, dan
persetujuannya merupakan syarat bagi kelangsungan orang-orang yang menjadi
pilihannya. Salah seorang ulama Ushul Fiqh Dr. Muhammad Yusuf Musa mengatakan:
“Sesugguhnya sumber otoritas adalah umat dan bukan pemimipin ( penguasa ) ,
karena pemimipin hanya sebagai wakilnya dalam menangani masalah – masalah agama
dan mengatur urusannya sesuai dengan syariat Allah Swt. Dengan demikian,
seorang pemimpin mendapatkan kekuasaan dari umat, dan umat dapat menasehati,
memberikan pengarahan, dan mengkritik bila hal itu dibutuhkan. Bahkan dia
berhak mencabut kekuasaan yang diberikan kepadanya apabila dia mendapatkan
alasan pencabutannya. Jadi, logikannya yang menjadi sumber otoritas adalah orang
yang mewakilkan dan bukan orang yang mewakilinya.”
2.
Masyarakat ikut berperan dan bertanggung jawab
Penegakan
agama, pemakmuran dunia, serta pemeliharaan atas semua kemashlahatan umum
merupakan tanggung jawab umat dan bukan hanya tanggung jawab penguasa saja.
“Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah
(ketika) menjadi saksi dengan adil.” (QS. Al-Maidah: 8)
3.
Kebebasan adalah hak bagi semua orang
Diantara
pengekspresian kebebasan yang terpenting adalah kebebasan memilih dan
berpendapat, seperti halnya dalam Islam tidak ada paksaan dalam keyakinan
manusia. Akan tetapi setiap pilihan itu pasti memiliki konsekuensi dan resiko
tersendiri.
Dengan
demikian, kebebasan politik merupakan istilah modern, tidak lain kecuali hanya
cabang dari pokok kebebasan universal yang diberikan islam, yaitu kebebasan
manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, yang telah ditetapkan dengan nash –
nash baik dalam Al – Qur’an maupun dalam Hadist. Sebagai dalil yang memperkuat
hal tersebut, kita dapat sebutkan sebuah Hadist Rasulullah Saw . Yang
disampaiakan kepada para sahabatnya, “ Janganlah sekali – kali salah seorang
diantara kalian tidak berpendirian, ia mengatakan aku bersama – sama dengan
banyak orang, apabila mereka baik , maka aku baik Dan apabila mereka jelek,
maka akupun jelek.“
4.
Persamaan
diantara semua manusia
Sesungguhnya nenek moyang kita adalah satu.
Kesemuanya diciptakan min nafsin wahidah ( dari diri yang satu ) ( Qs.
An- Nisa’ : 1 ). Dan semuanya mendapat perlindungan dan penghormatan yang telah ditetapkan dalam Al – Qur’an tanpa
melihat kepada agama atau ras. Rasulullah Saw . sendiri pada khutbah Wada’ telah
mengisyaratkan kepada makna kesatuan asal manusia. Beliau bersabda,” Ketahuilah,
sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan ketahuilah bahwa Bapak kalian juga
satu .”
5.
Kelompok
yang berbeda juga memiliki legalitas
Sejak
diputuskannya kesatuan dasar kemanusiaan dan ditetapkannya kehormatan bagi
setiap orang didalm Al – Qur’an, setiap orang lain ( yang berbeda paham )
berhak mendapatkan perlindungan dan legalitas sebagai manusia, ketika Nabi Muhammad
Saw berdiri sebagai penghormatan atas seorang mayat yang diusung dihadapan
beliau, dikatakan kepada beliau bahwa mayat yang diusung dihadapn beliau adalah
orang Yahudi, maka beliau menjawab, “ Bukankah ia manusia ?” Demikian
halnya ketika Ali bin Abi Thalib r.a mengirim surat kepada gubernurnya di
Mesir, Malik Al Asytar, beliau menulis dalam surattersebut :” Tanamkanlah
dalam hatimu kasih sayang, cinta, dan kelembutan kepada rakyatmu …….
Sesungguhnya mereka ada dua golongan, baik meeka sebagai saudara dalam agama,
atau mitramu sesama makhluk.
6.
Kedzaliman
mutlak tidak diperbolehkan dan usaha meluruskannya adalah wajib.
Dalam islam,
kedzaliman tidak hanya termasuk dalam kemungkaran dan dosa terbesar saja, juga
tidak hanya merusak kemakmuran, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Khaldun. Tetapi
lebih dari itu, kedzaliman merupakan tindakan yang menganiaya hak Allah Swt dan
menghancurkan nilai – nilai keadilan yang merupakan tujuan dari diutusnya Rasul
dan Nabi.
Allah Swt
berfirman :” Agar memberi peringatan orang–orang yang dzalim dan memberi
kabar gembira kepada orang – orang yang berbuat baik”. ( Qs. Al – Ahqaf :
12 ).
Nabi Muhammad
Saw bersabda :” Seutama – utama jihad adalah mengatakan yang hak kepada
penguasa zalim”.
7.
Undang-undang
di atas segalanya
Legalitas
kekuasaan dinegara islam tegak dan berlangsung dengan usaha mengimplementasikan
sistem undang – undang islam secara keseluruhan, tanpa membedakan antara hukum
–hukumnya yang mengatur tingkah laku seorang muslim dalam kedudukannya sebagai
anak bangsa dan hakim dengan nilai – nilai pokok dan tujuan – tujuannya yang
mulia, yang telah disebutkan didalam Al – Qur’an dan Hadist.
b.
Prinsip-prinsip
Utama Sistem Politik Islam
1.
Musyawarah
Musyawarah
merupakan jalan untuk menemukan kebenaran dan mengetahui pendapat yang paling
tepat. Al-Quran memerintahkan musyawarah dan menjadikannya sebagai satu unsur
dari unsur-unsur pijakan negara Islam.
2.
Keadilan
Musyawarah
adalah dasar hukum dalam Islam dan manhaj kehidupan kaum muslimin, yang
pada hakikatnya berlandaskan keadilan yang sangat bertentangan sekali dengan
kesewenang-wenangan penguasa dan tidak mengikut sertakan rakyat dalam membahas
perkara. Prinsip ‘mengkritik penguasa’, termasuk diantara tuntutan keadilan.
Begitu juga halnya dengan prinsip ‘persamaan hak’ dan kebebasan serta hak asasi
manusia, sesungguhnya berlaku adillah dasarnya.
3.
Kebebasan
Kebebasan
yang dipelihara oleh sistem politik Islam ialah kebebasan yang
berlandaskan
kepada amar makruf dan kebajikan. Menegakkan prinsip kebebasan yang sebenarnya
adalah tujuan terpenting bagi sistem politik dan pemerintahan Islam serta
menjadi asas-asas utama bagi undang-undang perlembagaan negara Islam.
4.
Persamaan
Persamaan
di sini terdiri daripada persamaan dalam mendapatkan dan menuntut hak,
persamaan dalam memikul tanggungjawab menurut peringkat-peringkat yang
ditetapkan oleh undang-undang perlembagaan dan persamaan berada di bawah kuasa
undang-undang.
PENUTUP
Adanya
sistem politik Islam tidak lain adalah untuk membangun sebuah sistem pemerintah
dan kenegaraan yang tegak di atas dasar untuk melakasanakan seluruh hukum
syari’at Islam. Sistem politik Islam merupakan sistem
politik yang khas dan diyakini merupakan sistem politik yang unggul. Hal ini
terkait dengan Islam itu sendiri. Islam itu unggul dan tidak ada yang dapat
mengunggulinya عليه يعلى ولا يعلوا الاسلام kata Nabi.
Al-Quran
tidak menyebutkan secara tegas bagaimana mewujudkan suatu sistem politik. Akan
tetapi di dalam beberapa ayat Al-quran disebutkan bahwa kekuasaan politik hanya
dijanjikan (akan diberikan) kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh.
Hal ini berarti bahwa sistem politik menurut agama dan ajaran Islam terkait
dengan kedua faktor tersebut. Di sisi lain, keberadaan sebuah sistem politik
berkaitan pula dengan ruang dan waktu.
Dalam
sub sistem politik, hukum-hukum Allah bisa terlaksana dan ditegakkan meskipun
dalam lingkup yang terbatas sesuai dengan kemampuan, sebagai persiapan
pembentukan masyarakat mukmin yang siap menjalankan hukum Islam dan ajaran
agama. Oleh karena kesiapan masyarakat itu dikaitkan dengan iman dan amal
sholeh, maka diantara langkah-langkah mendasar yang harus dilakukan adalah
pembaharuan dan peningkatan iman dan penggalakan amal sholeh.
Konsep
pemikiran dan sistem politik Islam adalah konsep politik yang bersifat majemuk.
Sebabnya, karena sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau penafsiran
seseorang terhadap al-Quran berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks
persoalan masyarakat para pemikir politik. Hal tersebut dengan dapat
dijumpainya pemikiran politik yang telah muncul sejak zaman Rasulullah saw. dan
kemudian dikembangkan hingga masa sekarang tentang proses pembentukan negara,
unsur-unsur dan sendi-sendi negara, eksistensi lembaga pemerintahan,
pengangkatan kepala negara, syarat-syarat menjadi kepala negara, tujuan dan
tugas pemerintahan, pemberhentian kepala negara, sumber kekuasaan dan bentuk
pemerintahan.
Daftar Pustaka
http://msmonline.net/seminar/?p=244 artikel
sistem politik Islam.
Rais, Dhiauddin. 2001.Teori Politik Islam.
Gema Insani Press: Jakarta
Dzakirin, Ahmad. 2010. Tarbiyah Siyasiyah.
Era Adicitra Intermedia: Solo
Jindan, Khalid Ibrahim. 1999. Teori Politik
Islam. Risalah Gusti: Surabaya
Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih Politik
Islam. Amzah: Jakarta
Komentar
Posting Komentar