Gejala patologi atau penyakit sosial berupa kemiskinan, kejahatan,
pelacuran, alkoholisme, kecanduan, perjudian, dan semua tingkah laku yang
berkaitan dengan hal tersebut serta bertentangan dengan norma kebaikan, masih
terus kita dapati di negeri ini. Berbagai macam penanggulangan yang dicetuskan
nampaknya belum juga berjalan secara maksimal.
Salah satu masalah sosial yang belum juga teratasi di negeri ini
adalah kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi lantaran faktor kebudayaan dan
kebijakan pemerintah ini ternyata tidak sedikit yang membawa rakyat miskin
untuk berani menurunkan derajat dirinya menjadi seorang pengemis atau
peminta-minta. Meski tidak semua rakyat miskin dan kekurangan baik dari segi
fisik maupun ekonomi yang menjadi pengemis, namun jumlah pengemis di negeri ini
sudah tidak dapat terhitung lagi jumlahnya.
Pengemis yang sudah menjadi fenomena sosial ini seolah-olah selalu
menghiasi kota-kota besar dengan gemerlap bangunan mewah dan lalu lalang para
pekerja kantoran. Pembangunan yang selalu berjalan di kota-kota besar juga
menjadi daya tarik bagi para pengemis untuk memulai kegiatannya di kawasan
tersebut. Kegiatan utama pengemis berupa meminta-minta dan mengeksploitasi belas
kasihan sesama demi mendapatkan kucuran rejeki, sudah menjadi hal yang biasa
untuk dipandang.
Kegiatan mengemis dan meminta-minta itu nyatanya bukan hanya karena
alasan keterhimpitan ekonomi atau keterbatasan fisik semata. Akan tetapi hal
lain seperti, tradisi suatu masyarakat yang menjadikan pengemis sebagai
profesi, kurangnya sumber daya untuk memanfaatkan dan mengembangkan peluang
yang ada, dan kondisi musiman juga menjadi faktor lain penyebab orang memilih
menjadi pengemis. Namun, ada juga faktor terpenting lainnya yang menjadikan
seseorang rela menjatuhkan derajatnya menjadi pengemis adalah karena dia sudah
kehilangan nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam hidupnya dan kemauan untuk
berusaha dan bekerja keras melakukan hal lain yang lebih mulia.
Setiap perbuatan, gerakan, dan tingkah laku manusia itu pada
dasarnya merupakan akibat dari tenaga-tenaga yang keluar dari dalam dirinya,
yang disebut usaha. Usaha ini muncul dari dalam diri manusia, dan ditampilkan
keluar dalam berbagai macam bentuk tingkah laku. Tingkah laku ini pada umumnya
merupakan pengarahan diri ke arah sesuatu yang bermanfaat dan baik, dan
penghindaran diri dari segala sesuatu yang merusak dan merugikan. Dalam setiap
usaha juga terdapat pelahiran, pemakluman, pembukaan, pendesakan atau pelandaan
keluar, menuju ke suatu arah dan tujuan, dan disertai keinginan pada sesuatu
yang akan dicapai karena dianggap bernilai.
Hilangnya nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan hidup dan kemauan
untuk berusaha, akan melahirkan individu-individu yang malas untuk berjuang
dalam hidupnya. Karena kemauan dalam diri manusia pada dasarnya merupakan
dorongan keinginan untuk merealisasikan diri, mengembangkan segenap kemampuan
dan untuk meningkatkan taraf kehidupan. Kemauan juga merupakan tenaga pengarah
pada pemilihan nilai-nilai, sekaligus juga menjadi pendukung dari aktivitas
susila atau perbuatan-perbuatan baik, serta menghindari perbuatan jahat. Jika
kemauan itu kurang disadari maka kehendak sampingan yang kecil dan tidak pokok
akan berkuasa dan menentukan tingkah laku, hal inilah yang terjadi pada para
pengemis tersebut.
Mereka yang menganggap nilai uang itu tinggi, tapi tidak disertai
dengan usaha dan kerja keras untuk mendapatkannya, hanya akan melakukan hal
kecil yang tidak membutuhkan modal banyak baik yang berupa tenaga maupun materi
untuk melakukannya. Namun tidak sedikit ternyata kegiatan mengemis itu yang
telah dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai komoditas demi mendapatkan uang.
Eksploitasi besar-besaran terhadap belas kasihan adalah produk utama dari
komoditas ini. Bahkan tidak jarang pula ditemui pengemis-pengemis yang
diorganisir oleh oknum tertentu, hingga oknum tersebut memiliki kekayaan dari
para pengemis yang dikelolanya. Inilah yang menjadikan kegiatan mengemis
sebagai patologi sosial.
Orang-orang yang gagal dalam usahanya, kebiasaan yang sudah
dimulainya sejak kecil, dan kemauan yang kurang untuk bangkit lagi membangun
usahanya yang gagal sehingga kegiatan mengemis pun mereka lakukan, tentunya
juga harus disadari oleh para da’i. Para da’i tidak semestinya hanya berdakwah
untuk kalangan atas saja, akan tetapi juga dibutuhkan da’i-da’i yang juga siap
untuk terjun secara langsung pada masyarakat atau mad’u yang memiliki latar
belakang kehidupan seperti pengemis. Karena da’i untuk kalangan bawah masih
sangat sedikit sekali jumlahnya dan masih sangat jarang ditemukan.
Jika melihat kinerja negara dan pemerintah yang seolah-olah ingin
memberantas kemiskinan tapi tanpa ada solusi, akan tetapi setidaknya dengan
adanya da’i dan agamawan (Islam) di negeri ini dapat memberikan solusi yang
tepat bagi patologi kemiskinan ini. Mereka yang lebih memilih kegiatan
meminta-minta sebenarnya bukan sedekah yang mereka butuhkan, akan tetapi
motivasi untuk membangkitkan kemauan dan semangat untuk melakukan pekerjaan
lain yang halal dan lebih mulia, serta tidak menularkan penyakit atau jiwa
pengemisnya pada orang lain.
Para pengemis itu bukan saja miskin materi, akan tetapi mereka juga
miskin mental dan motivasi. Oleh karena itu yang harus dilakukan da’i pertama
kali pada para pengemis itu adalah memperbaiki mentalnya dan memotivasinya agar
mau memperbaiki keadaan. Jika kemauan untuk berusaha dan bekerja dengan
keringat sendiri telah ada, maka akan menjadi mudah mengarahkan dan memasukkan
kembali nilai-nilai kehidupan yang telah hilang dari diri mereka, serta
menyediakan lapangan pekerjaan baru yang halal dan mulia terhadap mereka.
Karena berusaha, meski hanya dengan pendapatan yang pas-pasan akan lebih
terhormat daripada hanya menengadahkan tangan meminta belas kasih dan kucuran
rejeki dari orang lain. Dan setidaknya, kucuran keringat dan air mata orang
yang bekerja lebih mulia dan lebih bernilai di sisi Allah swt.
Sumber
bacaan:
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/01/05/289247/4/2/Kemiskinan-Indonesia-2012-Dipatok-Susut-ke-117
http://www.pikiran-rakyat.com/Angka Kemiskinan di Indonesia Masih Tinggi
Jumat, 30/12/2011
Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial: Gangguan-gangguan Kejiwaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Pengemis sebagai Patologi Sosial (Jangan Memberi Uang kepada Pengemis). Kompasiana.com – opini, 09 Juni 2011
Wajah Kemiskinan Indonesia
2012. Tribunnews.com - Selasa, 27 Desember 2011 15:14 WIB
setuju. seringkali orang mengemis karena 'tidak mau susah' bekerja. dan sepertinya perlu usaha ekstra keras untuk 'membangun' mental mereka dari mental peminta-minta menjadi mental kerja keras.
BalasHapusya, memang seharusnya yang dilakukan pertama kali adalah mengubah mental mereka
Hapus