Makalah Komunikasi Antar Budaya & Agama
Globalisasi
bukanlah fenomena yang baru, globalisasi sudah ada sejak ribuan tahun yang
lalu. Dari globalisasi ini lahir berbagai macam gerakan dan perkembangan, dari
mulai perkembangan teknologi dan informasi hingga perkembangan agama. Dan
gerakan global yang paling besar adalah religion mevenment (gerakan
agama) seperti penyebaran agama Islam dan Kristen. (Prof
Dr Mark R Woordward)
Globalisasi
dan religion movenment ini melahirkan sebuah kata yang sudah tidak asing
lagi, yakni radikal atau radikalisme. Beberapa negara yang mendapat ancaman dan
teror sering kali beranggapan bahwa hal tersebut berasal dari kelompok Islam,
sehingga menimbulkan pandangan bahwa Islam adalah agama yang radikal dan penuh
kekerasan.
Namun
gerakan radikal ini bukan hanya fenomena satu agama saja. Ada beberapa gerakan
radikal global dan itu bukan hanya Islam. (Prof Dr
Mark R Woordward) Akan tetapi karena seringnya teror dan sangkaan terorisme
yang telah dicitrakan orang-orang non-Islam pada Islam, sehingga radikalisme
menjadi sesuatu yang seolah-olah selalu identik dengan Islam, yang pada
akhirnya gerakan radikal di luar Islam atau selain agama Islam tidak banyak
diketahui oleh masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Radikalisme Islam
Ada beberapa pendapat dan versi
dalam mendefinisikan radikalisme ini, diantaranya ada yang berpendapat bahwa
kata radikal itu berasal dari kata latin “radix” yang artinya akar atau pohon.
Jadi orang yang radikal sebenarnya adalah orang yang mengerti sebuah
permasalahan sampai ke akar-akarnya, dan karena itu mereka lebih sering
memegang teguh sebuah prinsip dibandingkan orang yang tidak mengerti akar
masalah.
Pengertian lain mengungkapkan bahwa
yang dimaksud dengan radikal atau radikalisme itu adalah prinsip-prinsip atau
praktik-praktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan tindakan yang
umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang
diperjuangkan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang
berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. (Prof. Dr. Mudjahirin Thahir)
Kata radikal juga sering diartikan
sebagai keberpihakan, kecondongan, mendukung pada satu ide pemikiran saja, satu
kelompok, atau suatu ajaran agama secara penuh dan bersungguh-sungguh serta
terfokus pada suatu tujuan serta bersifat reaktif dan aktif. Secara harfiah,
radikalisme atau fundamentalisme tidak memliki sesuatu yang negatif. Namun
secara etimologi, radikalisme dan fundamentalisme telah mengalami penyempitan
makna yang bermakna negatif. (Muhammad
Ichsan SE)
Pendapat lain menyatakan bahwa yang
dimaksud radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering
menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam
adalah agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian.
Karena Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam
menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik. (Syamsul Bakri)
Dan jika kata radikal disandingkan
dengan Islam menjadi radikalisme Islam, maka itu berarti seseorang yang
benar-benar dengan sepenuh hati dan tenaga serta pikiran yang mendukung,
berpihak, atau menjadi ekstrim terhadap ajaran agama Islam, melebihi
orang-orang Islam pada umumnya. Gerakan atau kelompok radikal ini merupakan
gerakan yang sangat eksklusif. Mereka memliki pandangan bahwa mereka dan hanya
mereka yang tahu tentang kebenaran. Tidak ada kebenaran yang lain, mereka benar
sementara yang lain salah, tidak bisa dan tidak perlu berdialog dengan mereka
tentang kebenaran, karena hanya mereka yang tahu tentang kebenaran. Itulah
diantara pemikiran dan persepsi orang-orang dalam kelompok radikal. Mereka
hanya membenarkan tindakan kelompok mereka sendiri sementara yang lain mereka
salahkan.
B.
Radikalisme Islam dan Kaitannya dengan Budaya.
Proses globalisasi yang telah
terjadi sejak berabad-abad yang lalu meniscayakan adanya penyebaran dan
interaksi sosial-budaya dalam skala luas. Dalam konteks ini, Islam sebagai
salah satu tatanan nilai sosial dan budaya dihadapkan pada tatanan nilai-nilai
modern, yang pada titik tertentu bukan saja tidak selaras dengan nilai-nilai
yang diusung Islam, tetapi lebih banyak bersebrangan dengan nilai-nilai Islam.
Dan pada akhirnya, proses interaksi global ini menjadi sebuah persaingan
kekuatan, dimana satu sama lain saling mempengaruhi bahkan meniadakan.
Radikalisme yang muncul akibat
globalisasi saat ini merupakan gejala umum di dunia Islam, termasuk Indonesia.
Gejala radikalisme dalam Islam ini tidak muncul secara tiba-tiba dan juga bukan
fenomena baru lagi. Ada tiga faktor utama yang membuat gerakan radikalisme
Islam ini muncul yakni faktor situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang
oleh para pendukung gerakan radikal dipandang sangat memojokkan umat Islam.
Dalam konteks sosial budaya, umat
Islam semakin kehilangan orientasi dengan semakin kuatnya serbuan budaya Barat.
Ikatan-ikatan sosial yang sebelumnya cukup kuat menyatukan kelompok-kelompok
Muslim kemudian tercerai berai akibat jebolnya pertahanan budaya yang dimiliki
umat Islam. Budaya Islam menjadi tersingkir dan terasing dengan kedatangan
budaya Barat yang memberi dan menawarkan kebebasan dengan sebebas-bebasnya bagi
manusia.
Faktor budaya ini memilki andil yang
cukup besar atas terlahirnya radikalisme Islam. Hal ini wajar karena memang
secara budaya di dalam kehidupan masyarakat selalu ditemukan usaha untuk
melepaskan diri dari jeratan jaring – jaring kebudayaan tertentu yang dianggap
tidak sesuai. Keberadaan faktor budaya disini adalah sebagai antitesa terhadap
budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggap
sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah
memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri –
negeri dan budaya Islam.
Dalam suasana yang seperti itulah
Islam radikal mencoba melakukan perlawanan. Perlawanan itu muncul dalam bentuk
melawan kembali kelompok yang mengancam keberadaan mereka. Mereka tidak akan
segan untuk melakukan perlawanan jika memang ada kelompok lain yang menurut
mereka menyimpang dari “ajaran” Islam.
Kemunculan gerakan radikalisme Islam
ini kebanyakan terjadi di negara-negara yang pemerintahannya otoriter, di
negara atau wilayah yang dijajah dan diduduki kekuatan asing, dan di negara
yang kebijakan pemerintahannya dipandang terlampau memihak pada Barat.
Gerakan radikalisme Islam sendiri
mulai muncul di Indonesia baik pada sebelum atau setelah masa orde baru. Sejak
awal kelahirannya, sikap orde baru terhadap umat Islam mengikuti pola kebijakan
yang diterapkan oleh pemerintah Belanda yakni dengan bersikap toleran dan bersahabat
terhadap Islam sebagai kelompok sosial dan keagamaan. Tapi, sikap mereka ini
segera berubah menjadi keras dan tegas ketika Islam mulai memperlihatkan
tanda-tanda sebagai kekuatan politik yang menentang kehendak penguasa.
Munculnya gerakan ini merupakan cerminan adanya krisis kepercayaan terhadap
tatanan pemerintahan yang ada.
Kemunculan radikalisme Islam sendiri
di Indonesia lenih dipengaruhi karena aspek situasi politik, karena pemerintahannya yang otoriter dan kebijakan yang diambil pemerintah
dipandang terlalu memihak pada Barat. Dua hal inilah yang menyebabkan lahirnya
radikalisme Islam di Indonesia.
C.
ANALISIS
Fenomena gerakan keagamaan radikal
ini dan terlibatnya sebagian aktivis muslim dalam pergerakan tersebut, justru
menimbulkan anggapan dan pandangan bahwa Islam adalah agama yang kasar, tidak
manusiawi, tidak toleran, dan sebagaianya. Cara-cara radikal dalam beragama ini
tidak akan membawa kemashlahatan bagi kemajuan peradaban manusia dan kemajuan
dakwah. Namun hal ini, justru akan menjadikan posisi umat Islam kian tersudut.
Radikalisme atas nama agama ini bisa
jadi timbul karena adanya pemahaman agama yang terlalu sempit dan tekstual. Permasalahan
yang muncul hanya dilihat dan diselesaikan sebatas pandangan agama yang
tekstual tanpa memperhatikan kontekstual yang ada dibalik agama. Sehingga
segala permasalahan menurut mereka hanya bisa dihadapi dengan melakukan aksi
kekerasan, teror, bom, dan sebagainya.
Indonesia memang adalah negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, tidak semua dari penduduk Islam
Indonesia ini memiliki paham yang sama dan ikut tergabung dalam gerakan radikal
tersebut. Hanya orang-orang tertentu dan yang sedikit pengetahuan agamanya lah
yang mau ikut tergabung dalam pergerakan ini.
Selain itu pula, Indonesia adalah
negara yang penduduknya memliki budaya kolektivitas yang tinggi. Orang-orang
kolektif cenderung memandang suatu hal itu positif jika tetap sesuai dan
mengikuti aktifitas sosial yang ada, namun suatu hal akan dipandang negatif
apabila berbeda dan tidak sesuai dengan aktifitas sosial di tempat tersebut.
Jika kita hubungkan teori
kolektivitas ini dengan radikalisme Islam yang terjadi di negara-negara Islam
atau bukan, termasuk juga Indonesia maka akan ditemukan suatu benang merah,
bahwa mereka yang tergabung dalam gerakan ini adalah mereka yang memiliki jiwa
atau budaya kolektivitas. Orang-orang kolektif lebih mengutamakan aktifitas
dalam kelompoknya. Harmoni dan kerjasama diantara anggota kelompok lebih
diutamakan dari fungsi dan tanggung jawab individu. Oleh sebab itu maka tidak
menjadi suatu keheranan lagi apabila orang-orang yang tergabung dalam gerakan
radikal tersebut rela mengorbankan jiwa dan raga mereka demi mewujudkan tujuan
kelompoknya, yakni mempertahankan dan menyuburkan nilai-nilai Islam serta
meyingkirkan dan memberanguskan nilai-nilai sekuler – Barat.
Dari kenyataan-kenyataan itu
bagaimanakah cara kita sebagai umat Islam yang tidak tergabung dalam golongan
radikal ini meyikapi dan membentengi diri dari perilaku dan sikap radikal?
Prof. Dr. Mark R. Woodward dalam
seminar yang diadakan FISIPOL UMY menyatakan bahwa cara tepat untuk membentengi
diri kita dari gerakan dan paham radikal adalah dengan pendidikan dan semangat
keterbukaan untuk menghargai pendapat orang lain. Karena orang yang
berpendidikan dan memilki wawasan yang luas akan dapat terhindar dari pengaruh
pemikiran dan gerakan radikal.
Pendidikan agama (Islam) menjadi
sesuatu yang sangat perlu dan penting untuk diberikan kepada para pelajar dan
mahsiswa. Karena pada kenyataannya kebanyakan dari anggota gerakan radikal itu
adalah para pemuda yang berusia antara 15-24 tahun yang jiwanya masih labil dan
masih kurang dalam pemahaman ilmu agamanya. Dan dengan memilki pengetahuan
agama yang memadai dan luas orang tidak akan gampang terlarut dalam
penyelesaian masalah yang hanya berdasarkan tekstual dan mengenyampingkan
kontekstual. Namun, yang terpenting adalah terhindar dan terbentengi dari
gerakan dan paham radikalism.
Dan terakhir yang perlu dijadikan
catatan dan diingat adalah bahwa Islam itu bukanlah agama kekerasan. Islam
adalah agama yang “Rahmatan Lil ‘Alamin”, karena Islam itu adalah sebuah
agama yang mengandung nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia, baik itu
nilai-nilai budaya atau kultural bahkan juga nilai-nilai politik dan ekonomi.
Daftar Pustaka
·
http://rol.republika.co.id/koran/14/130363/Pendidikan_Agama_Tangkal_Radikalisme/Prof. Dr. Mark R. Woodward
·
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2009/03/06/agama-dan-radikalisme/Prof.Dr. Mudhajirin Thahir
·
http://leadershipcommunitydiscussion.blogspot.com/2009/09/artikel-akar-radikalisme-islam.html/ Muhammad Ichsan. SE.
·
Jurnal Muslim, Center For Moderate Muslim Indonesia_ Radikalisme
Islam dan Moderatisme Islam, 3 April 2009
·
Muzadi.
Hasyim. 2005 : Radikalisme Hancurkan Islam (kumpulan khutbah jum’at) Center for
Moderate Muslim
Komentar
Posting Komentar