Menyambung tulisan sebelumnya tentang "Bukan Lagi Media (nya) Massa". Saya ingin menambahkan ulasan lagi mengenai netralitas media. Apa itu netralitas media, kapan media massa dikatakan bersifat netral, dan bagaimana ia bersikap netral? Selanjutnya akan saya tuliskan di bawah ini.
Saat membaca sebuah berita di surat kabar atau melihat berita di televisi, beberapa dari kita mungkin akan bertanya apakah berita yang ditampilkan itu murni sebagai sebuah informasi ataukah ada kepentingan di dalamnya. Kepentingan tertentu dalam sebuah media bukan lagi menjadi hal tabu dan telah menjadi rahasia umum. Media tersebut dapat menayangkan berita atau informasi yang dapat memberi keuntungan pada pemiliknya, bahkan juga dapat menutupi peristiwa yang dapat memberikan pengaruh buruk pada sang pemilik.
Hal itu pula yang kemudian menjadikan media massa baik cetak, elektronik, maupun online berbeda dalam menyajikan sebuah berita atau informasi kepada khalayak. Organisasi media yang melibatkan banyak orang dalam proses komunikasinya ini, menimbulkan ide-ide beragam untuk mengangkat sebuah peristiwa dari sisi tertentu. Namun pada akhirnya, pemegang kebijakan atau pemilik medialah yang menentukan sisi mana yang harus diangkat dari sebuah peristiwa, sehingga media massa akan saling memiliki penafsiran yang berbeda dalam melihat dan menyajikan sebuah peristiwa.
Dalam kenyataanya organisasi media, terutama media yang bertujuan untuk membentuk dan memberi informasi pada khalayak memang selalu berupaya untuk memainkan peran tertentu dalam masyarakat. Sifat dasar ini yang kemudian melahirkan kemungkinan adanya sejumlah penafsiran yang saling berbeda dalam melihat suatu peristiwa (Padioleau, et.al. (1985) dalam McQuail (1991: 145).
Pada sisi lain, pemegang kebijakan, pemilik media, pimpinan redaksi atau pun redaktur pelaksana yang ikut menentukan diangkat tidaknya dan dari segi apa berita disampaikan pada khalayak, juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari peran reporter. Bernard Cecil Cohen dalam bukunya The Press and Foreign Policy (1963) yang dikutip oleh Denis McQuail, menyebutkan adanya perbedaan antara peran pemeran serta dengan peran netral. Cohen memulainya dengan mengungkapkan dua konsep peran reporter.
Pertama, konsep "reporter netral" yang mengacu pada gagasan pers sebagai pemberi berita, panafsir, dan alat pemerintah (dalam hal ini pers menempatkan dirinya sebagai saluran atau cermin). Kedua, konsep reporter "pemeran-serta" atau yang dikenal dengan istilah the traditional Fourth Estate dalam pengertian pers sebagai wakil publik, pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan dan pembuat kebijakan (McQuail, 1991: 145-146).
Dalam pandangan ini, Cohen melihat bahwa netralitas suatu media itu juga dipengaruhi oleh peran reporter sebagai pencari dan penghimpun berita. Jika seorang reporter lebih menempatkan dirinya sebagai saluran informasi atau cermin suatu peristiwa dan mengacu pada gagasan bahwa dia adalah sebagai pemberi berita, penafsir, dan alat pemerintah, maka media serta reporternya menjalankan peran netralnya. Sedang jika reporter tersebut menempatkan dirinya sebagai wakil publik, pengkritik pemerintah, pendukung kebijakan, dan pembuat kebijakan, maka media dan juga reporternya memainkan peran pemeran serta (partisipan) aktif yang memihak.
Ahli ilmu pengetahuan Swedia, J. Westerstahl juga mengaitkan netralitas media dengan prinsip objektivitas berita dan informasi yang disampaikan pada publik. Berbagai komponen dari prinsip objektivitas tersebut ditampilkan oleh J. Westerstahl dalam sebuah skema. Skema tersebut diciptakan secara khusus untuk kepentingan penilaian kadar netralitas dan keseimbangan sistem siaran publik Swedia.
Pada skema yang ia buat tersebut dijelaskan bahwa penyajian laporan atau berita secara objektif harus mencakup nilai-nilai dan fakta. Dalam skema tersebut, kefaktualan dikaitkan dengan bentuk penyajian berita atau laporan tentang peristiwa atau pernyataan yang dapat dicek kebenarannya pada sumber, dan disajikan tanpa komentar. Impartialitas dihubungkan dengan sikap netral wartawan (reporter). Suatu sikap yang menjauhkan setiap penilaian pribadi (personal) dan subjektif demi pencapaian sasaran yang diinginkan.
Netralitas media menurut J. Westerstahl merupakan bagian dari objektivitas berita. Pendapatnya ini juga sesuai dengan objektivitas berita dalam Kode Etik Jurnalistik yang telah dirumuskan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada Bab II pasal 5.
"Wartawan menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampuradukkan fakta dan opini. Tulisan yang berisi interpretasi dan opini, disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya."
Maksud dari kalimat "berita secara berimbang dan adil" dalam kode etik jurnalistik tersebut ialah menyajikan berita yang bersumber dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan, penilaian atau sudut pandang masing-masing kasus secara proporsional. Kemudian, "mengutamakan kecerdasan dari ketepatan", artinya setiap penulisan, penyiaran atau penayangan berita hendaknya selalu memastikan kebenaran dan ketepatan suatu peristiwa dan atau masalah yang diberitakan.
Adapun yang dimaksud dengan tidak mencampuradukkan fakta dan opini, artinya wartawan tidak menyajikan pendapatnya sebagai berita atau fakta, atau dalam bahasa akademis disebut objektif. Apabila suatu berita ditulis atau disiarkan dengan opini, maka berita tersebut wajib disajikan dengan menyebut nama penulisnya (Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2009: 307).
Namun, diantara dua pendapat yang mengemukakan perihal netralitas media ini, Noam Chomsky justru menyatakan bahwa pada akhirnya media sulit untuk bersifat netral dan cover both side. Karena menurutnya, kepentingan pada sebuah media massa tidak dapat dilepaskan dari berbagai kepentingan yang datang dari luar media itu sendiri, terutama kepentingan yang berhubungan erat dengan informasi yang disajikan. Dan dari kepentingan-kepentingan tersebut, terdapat kepentingan utama yang hampir selalu disembunyikan oleh media.
Kepentingan utama pada media yang selalu terbungkus rapi itu, tidak lain adalah kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan. Kuatnya dua kepentingan (economy interest and power interest) inilah yang kemudian membuat media massa menjadi tidak sepenuhnya netral dan cover both side. Bahkan, fakta yang disajikan pun selalu dipolitisir. Karena itulah Chomsky juga mengatakan bahwa informasi di media hanyalah sebuah rekonstruksi. Rekonstruksi yang tertulis atas suatu peristiwa yang terjadi pada masyarakat (Fathurokhmah, 2011: 224 - 225)
Komentar
Posting Komentar