Beberapa hari yang lalu, muncul percakapan diantara aku dan adik-adik angkatanku di asrama. Kami berenam membicarakan tentang siapakah yang bakal jadi pilihan saat pemilu presiden besok. Tiba-tiba, salah seorang adik angkatanku (sebut saja A) tak sengaja nyeletuk, "Aku besok mau nyoblos W***** (sensor)," katanya. Sontak saja aku dan adik angkatanku lainnya (si B, C dan D) mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Tentunya pertanyaan tentang benarkah dia akan memilih mereka, dengan pertimbangan begini dan begitu. Melihat realita yang dibuat begini dan begitu.
"Ya... habis, aku nggak tahu siapa aja calonnya," kata si A.
Oh my God ! Sudah H-21 (dihitung dari malam kita cuap-cuap itu ya) dia masih belum tahu siapa aja yang bakal dicalonin jadi presiden. Hm... padahal mahasiswa, moso iya nggak tahu siapa-siapa aja yang dicalonin.
"Lah, masa kamu nggak tau?! Terus selama ini kamu kemana aja?" tanya B.
"Ya aku tahunya emang orang itu aja. Karena aku dulu sekolah SMA di sekolahnya dia, yang punya sekolahnya dia," jawab A dengan memasang wajah tanpa berdosa, (atau memang karena lugu? bisa jadi).
"Oalah..." celetukku.
"Makanya lihat berita!" celoteh si C (adik angkatanku yang lain lagi). "Jangan ngeliatin sinetron mulu."
"Iya bener tuh, coba kamu update berita. Ikutin berita-berita yang ada di tivi, koran, internet. Kan banyak banget tuh berita-berita tentang pemilu 2014 ini, sama siapa-siapa aja yang bakal jadi calon presidennya. Biar nanti kamu bisa bandingin dan lihat mana yang terbaik. Tapi ... jangan asal nilai orang itu baik karena turun atau tiba-tiba blusukan. Padahal sebelumnya mereka asyik-asyik sendiri aja, tanpa mikirin rakyat," kata si D (orang lain lagi).
"Nah, tuh A dengerin tuh," kata si B. "Lagian juga ya, kita juga perlu tahu mereka itu sebelumnya udah punya kontribusi apa buat kita? Terutama buat rakyat kecil."
"Iya. Dan coba kita lihat lagi, orang itu kan wakilnya yang punya media gede tuh. Kita perhatiin aja tuh gimana tayangan-tayangan di media itu. Kebanyakan yang ditampilin kan cuma kayak gitu-gitu aja toh, dan kurang mendidik. Kayak sinetron-sinetron itu. Dan kalian perlu tahu juga, yang ditampilin di sinetron itu sebenarnya cuma realitas yang dibuat-buat. Dalam kehidupan kita yang nyata sekarang, nggak ada yang kayak di sinetron-sinetron itu, sebenarnya. Tapi ... karena ada sinetron-sinetron itu, realitas yang cuma ada di layar tivi ternyata malah ditiru sama orang yang hidup di dunia nyata di luar tivi. Apalagi yang banyak ditiru itu yang nggak bener dan nggak mendidik. Kan malah jadi nggak beres itu. Emangnya kita mau didikte sama sinetron?!" sambungku panjang kali lebar.
"Betul itu mbak! Terus itu juga, kalo diperhatiin lagi, sinetron-sinetron yang bikin orang ketagihan pingin nonton terus itu ditaruhnya pas deketan dan barengan sama waktu shalat. Itu kan jadi bikin orang lupa sama kewajibannya buat ibadah. Karena keasyikan nonton tuh film," sambung si B.
"Terus kalau gitu aku harus milih siapa donk...?" tanya A, kali ini dengan wajah dan tampang memelas dan menyerah. Karena dicecar dan diserbu pernyataan-pernyataan pahit (menurutnya). Ditambah lagi, suara kami bertiga (aku, B, dan D) yang cukup keras dan menggema ke seluruh bagian lantai 4 gedung asrama, membuatnya semakin membenamkan muka tak berdaya. A hanya terus memainkan BBnya sambil mendengarkan percakapan kami.
"Ya itu tadi A. Kamu bisa cari tahu calon-calon lain dari berita-berita di tivi, koran, internet, atau radio. Jangan anggap kita ini sedang menceramahimu (padahal sebenarnya iya). Kita cuma ingin biar kamu nggak salah pilih pemimpin aja," kata B.
"Betul A, dan agar wawasanmu tentang calon pemimpin itu bisa terbuka. Jadi nanti kamu bisa sambil lalu memikirkan, sudah sesuai tidak pilihan calon pemimpin itu dengan kondisi rakyat dan bangsa ini sekarang sampai 5 tahun ke depan," kataku. "Tapi, karena sepertinya A sudah menekuk mukanya. Bagaimana kalau kita akhiri saja dulu percakapan kita tentang calon pemimpin ini?" tanyaku.
"Oke Mbak. Kasihan juga tuh ngelihat A udah masam gitu mukanya." B dan D menyetujui untuk mengakhiri percakapan itu. Namun sebetulnya, masih ada perbincangan lain yang tak kalah menariknya daripada perbincangan ini. Tapi, lain waktu saja ya aku ceritakan. Untuk kesempatan kali ini, aku cukupkan sampai di sini saja.
:)
"Ya... habis, aku nggak tahu siapa aja calonnya," kata si A.
Oh my God ! Sudah H-21 (dihitung dari malam kita cuap-cuap itu ya) dia masih belum tahu siapa aja yang bakal dicalonin jadi presiden. Hm... padahal mahasiswa, moso iya nggak tahu siapa-siapa aja yang dicalonin.
"Lah, masa kamu nggak tau?! Terus selama ini kamu kemana aja?" tanya B.
"Ya aku tahunya emang orang itu aja. Karena aku dulu sekolah SMA di sekolahnya dia, yang punya sekolahnya dia," jawab A dengan memasang wajah tanpa berdosa, (atau memang karena lugu? bisa jadi).
"Oalah..." celetukku.
"Makanya lihat berita!" celoteh si C (adik angkatanku yang lain lagi). "Jangan ngeliatin sinetron mulu."
"Iya bener tuh, coba kamu update berita. Ikutin berita-berita yang ada di tivi, koran, internet. Kan banyak banget tuh berita-berita tentang pemilu 2014 ini, sama siapa-siapa aja yang bakal jadi calon presidennya. Biar nanti kamu bisa bandingin dan lihat mana yang terbaik. Tapi ... jangan asal nilai orang itu baik karena turun atau tiba-tiba blusukan. Padahal sebelumnya mereka asyik-asyik sendiri aja, tanpa mikirin rakyat," kata si D (orang lain lagi).
"Nah, tuh A dengerin tuh," kata si B. "Lagian juga ya, kita juga perlu tahu mereka itu sebelumnya udah punya kontribusi apa buat kita? Terutama buat rakyat kecil."
"Iya. Dan coba kita lihat lagi, orang itu kan wakilnya yang punya media gede tuh. Kita perhatiin aja tuh gimana tayangan-tayangan di media itu. Kebanyakan yang ditampilin kan cuma kayak gitu-gitu aja toh, dan kurang mendidik. Kayak sinetron-sinetron itu. Dan kalian perlu tahu juga, yang ditampilin di sinetron itu sebenarnya cuma realitas yang dibuat-buat. Dalam kehidupan kita yang nyata sekarang, nggak ada yang kayak di sinetron-sinetron itu, sebenarnya. Tapi ... karena ada sinetron-sinetron itu, realitas yang cuma ada di layar tivi ternyata malah ditiru sama orang yang hidup di dunia nyata di luar tivi. Apalagi yang banyak ditiru itu yang nggak bener dan nggak mendidik. Kan malah jadi nggak beres itu. Emangnya kita mau didikte sama sinetron?!" sambungku panjang kali lebar.
"Betul itu mbak! Terus itu juga, kalo diperhatiin lagi, sinetron-sinetron yang bikin orang ketagihan pingin nonton terus itu ditaruhnya pas deketan dan barengan sama waktu shalat. Itu kan jadi bikin orang lupa sama kewajibannya buat ibadah. Karena keasyikan nonton tuh film," sambung si B.
"Terus kalau gitu aku harus milih siapa donk...?" tanya A, kali ini dengan wajah dan tampang memelas dan menyerah. Karena dicecar dan diserbu pernyataan-pernyataan pahit (menurutnya). Ditambah lagi, suara kami bertiga (aku, B, dan D) yang cukup keras dan menggema ke seluruh bagian lantai 4 gedung asrama, membuatnya semakin membenamkan muka tak berdaya. A hanya terus memainkan BBnya sambil mendengarkan percakapan kami.
"Ya itu tadi A. Kamu bisa cari tahu calon-calon lain dari berita-berita di tivi, koran, internet, atau radio. Jangan anggap kita ini sedang menceramahimu (padahal sebenarnya iya). Kita cuma ingin biar kamu nggak salah pilih pemimpin aja," kata B.
"Betul A, dan agar wawasanmu tentang calon pemimpin itu bisa terbuka. Jadi nanti kamu bisa sambil lalu memikirkan, sudah sesuai tidak pilihan calon pemimpin itu dengan kondisi rakyat dan bangsa ini sekarang sampai 5 tahun ke depan," kataku. "Tapi, karena sepertinya A sudah menekuk mukanya. Bagaimana kalau kita akhiri saja dulu percakapan kita tentang calon pemimpin ini?" tanyaku.
"Oke Mbak. Kasihan juga tuh ngelihat A udah masam gitu mukanya." B dan D menyetujui untuk mengakhiri percakapan itu. Namun sebetulnya, masih ada perbincangan lain yang tak kalah menariknya daripada perbincangan ini. Tapi, lain waktu saja ya aku ceritakan. Untuk kesempatan kali ini, aku cukupkan sampai di sini saja.
:)
Komentar
Posting Komentar