Ada sebuah tulisan opini di koran Suara Merdeka tentang media massa. Tulisan itu berisi tentang parsialitas media massa di tahun 2014. Arti parsial jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia maksudnya adalah "berhubungan atau merupakan bagian dari keseluruhan". Kemudian jika mengacu pada tulisan opini itu saya menangkap bahwa maksud parsial di sana itu berarti media massa yang menjadi bagian dari politik, atau kasarnya media kampanye.
Memang, untuk tahun 2014 ini banyak sekali media massa yang menjadi alat kampanye. Kita perhatikan saja media elektronik seperti televisi itu. Berapa banyak televisi milik swasta atau pribadi yang kemudian pemiliknya memanfaatkan televisi sebagai alat kampanye. Kalau masih belum tahu televisi apa saja yang saya maksudkan, itu seperti TVOne, Metro TV, Global TV, MNCTV, dan RCTI. Belum lagi media massa cetak seperti koran. Setelah diperhatikan, memang ada beberapa koran yang banyak menampilkan satu golongan capres-cawapres tertentu. Intensitasnya pun tinggi, bisa saya katakan hampir setiap hari selalu ada wajah capres-cawapres yang terpampang dengan jelas di sana. Sementara untuk pasangan capres-cawapres lain, khususnya yang tidak memiliki kuasa terhadap media massa, minim diberitakan dan ditampilkan.
Lantas, saya berpikir. Jika begitu adanya, kasihan juga capres-cawapres lain yang tidak memiliki kuasa di media massa. Mungkin saja mereka melakukan hal berguna dan bermanfaat bagi rakyat, tapi ternyata banyak orang di belahan bumi pertiwi lainnya yang tidak mengetahui. Sementara kita, yang selalu dimanjakan dengan keberadaan media, selalu dicekoki dengan kampanye-kampanye bibir dan tampang luar. Namun sayangnya, kita lebih banyak tidak menyadari hal itu. Sehingga, saat kita membaca atau melihat kampanye yang dicitrakan dengan luar biasa keren itu, kepala kita akan manggut-manggut dan membenarkan apa yang ditampilkan di media itu. Kemudian, kita akan berkata "Ya, ini pilihan saya."
Ah, padahal, belum tentu juga apa yang ditampilkan itu sesuai dengan kenyataan. Mungkinkah mereka yang bermanis-manis muka dan bibir di media itu berpikir tentang negara dan rakyatnya 20 atau 50 tahun ke depan? Sementara kekayaan alam kita selalu saja menjadi alat gadai tinggi untuk memuluskan kerjasama sepihak dan politik perut. Sudah saatnya bagi kita untuk tidak lagi terbuai dengan janji-janji, yang hanya manis di muka pahit di belakang. Apalagi termakan oleh kampanye-kampanye hampa yang seperti buih di lautan itu. Karena itu, mumpung pemilu 2014 belum tergelar, sadarkan dan bangunkan pikiran kita yang tertidur dan terbuai ini. Agar kita tak salah memilih pemimpin untuk negeri kita ini. Agar Ibu Pertiwi kita ini tak lagi menangis sendiri.
Memang, untuk tahun 2014 ini banyak sekali media massa yang menjadi alat kampanye. Kita perhatikan saja media elektronik seperti televisi itu. Berapa banyak televisi milik swasta atau pribadi yang kemudian pemiliknya memanfaatkan televisi sebagai alat kampanye. Kalau masih belum tahu televisi apa saja yang saya maksudkan, itu seperti TVOne, Metro TV, Global TV, MNCTV, dan RCTI. Belum lagi media massa cetak seperti koran. Setelah diperhatikan, memang ada beberapa koran yang banyak menampilkan satu golongan capres-cawapres tertentu. Intensitasnya pun tinggi, bisa saya katakan hampir setiap hari selalu ada wajah capres-cawapres yang terpampang dengan jelas di sana. Sementara untuk pasangan capres-cawapres lain, khususnya yang tidak memiliki kuasa terhadap media massa, minim diberitakan dan ditampilkan.
Lantas, saya berpikir. Jika begitu adanya, kasihan juga capres-cawapres lain yang tidak memiliki kuasa di media massa. Mungkin saja mereka melakukan hal berguna dan bermanfaat bagi rakyat, tapi ternyata banyak orang di belahan bumi pertiwi lainnya yang tidak mengetahui. Sementara kita, yang selalu dimanjakan dengan keberadaan media, selalu dicekoki dengan kampanye-kampanye bibir dan tampang luar. Namun sayangnya, kita lebih banyak tidak menyadari hal itu. Sehingga, saat kita membaca atau melihat kampanye yang dicitrakan dengan luar biasa keren itu, kepala kita akan manggut-manggut dan membenarkan apa yang ditampilkan di media itu. Kemudian, kita akan berkata "Ya, ini pilihan saya."
Ah, padahal, belum tentu juga apa yang ditampilkan itu sesuai dengan kenyataan. Mungkinkah mereka yang bermanis-manis muka dan bibir di media itu berpikir tentang negara dan rakyatnya 20 atau 50 tahun ke depan? Sementara kekayaan alam kita selalu saja menjadi alat gadai tinggi untuk memuluskan kerjasama sepihak dan politik perut. Sudah saatnya bagi kita untuk tidak lagi terbuai dengan janji-janji, yang hanya manis di muka pahit di belakang. Apalagi termakan oleh kampanye-kampanye hampa yang seperti buih di lautan itu. Karena itu, mumpung pemilu 2014 belum tergelar, sadarkan dan bangunkan pikiran kita yang tertidur dan terbuai ini. Agar kita tak salah memilih pemimpin untuk negeri kita ini. Agar Ibu Pertiwi kita ini tak lagi menangis sendiri.
Komentar
Posting Komentar