Langsung ke konten utama

Jangan Remehkan Mimpi Part II - "Berani dan Yakinkan Diri"

Berbicara lagi tentang mimpi. Jika pada postingan sebelumnya saya bercerita tentang pertemuan dengan mbak Oki Setiana Dewi. Sekarang saya akan bercerita tentang sebuah kalimat, yang kemudian mengubah hidup saya, tentunya selama saya menjalani kewajiban sebagai mahasiswa.

Motivator muda sekaligus penulis buku "Jangan Kuliah Kalau Gak Sukes" pernah bertandang dan menjadi narasumber dalam sebuah acara motivasi. Acara motivasi itu mengikutsertakan semua mahasiswa baru, atau yang baru duduk di semester satu. Kegiatan yang diselenggarakan sebagai salah satu rangkaian acara penyambutan mahasiswa baru di universitas kami itu, memang luar biasa. Karena membuat kami, para mahasiswa baru berani untuk bermimpi. Berani untuk mengutarakan dan menuliskan apa saja keinginan kami, satu, dua, lima, dan sepuluh tahun ke depan.

Saya yang memang punya impian dan keinginan untuk menjadi seorang penulis, langsung menuliskan keinginan itu pada urutan pertama. Hitam di atas putih itu sudah terisi dengan satu keinginan. Selanjutnya, saya isi dengan keinginan-keinginan lainnya, termasuk bertemu dengan orang-orang yang menginspirasi seperti pada postingan sebelumnya di sini.

Setelah menuliskan berbagai macam impian dan keinginan itu, Setia Furqan Kholid sebagai motivator muda itu, tiba-tiba menantang kami yang hadir untuk menuliskan sebuah kalimat. Namun yang membuatnya berbeda, kalimat yang kami tuliskan itu harus dikirimkan ke orang tua kami masing-masing. Ruangan berkapasitas 300 orang itu seketika gaduh. Ada yang langsung mengeluarkan handphonenya, ada yang masih berpikir dan berdiskusi dengan teman sebelahnya, dan ada juga yang terlihat termenung. Sementara saya sendiri, masih sibuk berpikir dan berdiskusi dengan teman di sebelah saya. Beranikah kami mengirimkannya pada orang tua kami. Lalu jika benar terjadi seperti yang kami tuliskan itu, bagaimana nantinya kami akan hidup di tanah rantau ini? Sementara kami, baru beberapa bulan tinggal di tempat asing tersebut. Begitulah pemikiran dan bahan diskusi kami.

Sang motivator muda kembali melanjutkan perkataannya dan mengulang kalimat yang harus kami tulis. "Tuliskan saja dulu di layar hp kalian, sekarang. Ayah, Ibu, saya sudah menjadi mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saya akan bersungguh-sungguh menuntut ilmu di sini. Saya juga tidak akan memberatkan kalian berdua dengan kebutuhan uang yang banyak. Jadi, selama saya kuliah di sini, jangan beri saya uang saku. Saya akan mencari uang saku saya sendiri." Perintah sang motivator.

Saya masih saja berpikir dan menimbang-nimbang lagi pesan yang sudah saya tuliskan itu. Saya perhatikan lagi dengan seksama, bentukan kalimat-kalimatnya. Mungkinkah saya bisa?!

"Oke, sudah ditulis semua? Sekarang, kirimkan pesan itu pada orang tua kalian. Bagi yang berani mengirimkan pesan itu, saya doakan bisa menjadi yang terbaik di jurusannya, fakultasnya, dan universitas. Saya doakan, bagi yang berani mengirimkan pesan itu, benar-benar bisa mendapatkan uang sakunya sendiri." Suara sang motivator muda itu makin menggetarkan jiwa kami, khususnya saya. Kemudian, tanpa berlama-lama lagi, saya pencet tombol send pada nomor handphone ayah dan ibu saya. Saya juga percaya dan yakin bahwa jika itu benar terjadi, saya juga memiliki kesempatan untuk meringankan beban kedua orang tua.

Setelah mengirimkan pesan itu, saya dan beberapa orang di dalam ruangan itu menghela lega. Sang motivator muda meminta kami yang sudah mengirimkan pesan itu, untuk mengangkat tangan. Kemudian ia kembali mendoakan kami. Tapi, ada satu hal lagi yang tak terduga. Handphone yang saya pegang tiba-tiba berbunyi keras. Saya lihat di layar hp tertera nama ayah saya. Beberapa detik kemudian, hal yang sama juga terjadi pada beberapa mahasiswa lainnya. Mungkin, orang tua kami kaget dan heran dengan isi sms kami. Bagaimana tidak, baru beberapa bulan menjadi mahasiswa sudah "sok jago" tidak ingin diberi uang saku oleh orang tuanya.

Setelah saya mengangkat telfon dari ayah saya, benar saja apa yang saya pikirkan. Ayah dan ibu saya merasa heran dan kaget dengan pesan yang saya kirimkan pada mereka. Kemudian, saya jelaskan saja apa yang sebenarnya terjadi. Lantas, saat ayah dan ibu mengerti penjelasan dari saya, akhirnya keduanya tetap berkata dan memutuskan, bahwa saya tetap bisa menerima uang saku dari mereka, selama saya masih belum bisa mencari atau mendapatkan uang saku dari hasil keringat saya sendiri.

Tapi, hal itu hanya berjalan selama satu tahun saja. Pada tahun kedua, kalimat dan janji yang saya kirimkan pada orang tua saya ternyata terbukti. Pada tahun kedua saya menjadi mahasiswa, atau tepatnya saat duduk di semester 3, saya diterima menjadi asisten pendamping mahasiswa baru di asrama yang sebelumnya saya tinggali. Selain itu, ternyata saya juga mendapatkan uang saku dari asrama. Karena menjadi asisten senior pendamping. Walau jumlahnya tidak besar, tapi alhamdulillah, dengan jumlah yang tidak begitu besar itu cukup untuk satu bulan. Sehingga, ayah dan ibu saya, hanya sesekali saja mengirimkan uang dalam kurun waktu 3 bulan sekali. Lumayan bisa meringankan beban orang tua.

Kemudian, pada tahun ketiga, saya diangkat menjadi senior pendamping mahasiswa baru. Bahagianya lagi, uang saku dari senior pendamping itu juga bertambah nominalnya. Pada tahun ketiga inilah, saya sudah mulai bisa membeli segala sesuatunya dengan uang saku itu. Dan, orang tua saya tidak perlu lagi mengirimkan uang saku pada saya. Begitulah seterusnya, hingga berjalan pada tahun kelima ini. Pada saat skripsi dan menjelang wisuda, segala sesuatunya juga bisa saya biayai sendiri, tanpa meminta pada orang tua. Hanya jika ada rezeki saja, orang tua saya mengirimkan uang tambahan. Tapi sepertinya hanya sekali atau dua kali dalam setahun.

Selain menjadi senior pendamping, pada tahun keempat, atau saat saya memasuki semester 7, saya diterima menjadi mahasiswa magang jurnalis di sebuah biro di universitas. di Biro Humas dan Protokol universitas inilah hingga saat ini, saya beraktivitas. Sembari membantu mengirimkan dan menuliskan berita-berita seputar kampus dan kegiatannya, pada malam harinya saya juga masih beraktivitas di asrama sebagai senior pendamping. Dan alhamdulillah, rezeki dari Allah memang selalu datang dari arah manapun. Bahkan, dari rezeki yang didapat dari dua tempat itu, juga masih bisa disisihkan untuk ditabung sebagai simpanan jika dibutuhkan. Seperti sekarang ini, yang sedang menabung untuk bisa menjejaki bumi Allah lainnya di Makassar, Sulawesi Selatan, insyaAllah.  ^___^


Komentar

  1. Wah perjalanan hidup yang menarik, kamu memang kecil, tapi mimpimu besar, luar biasa sasasasasasasasasasasasaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe.. makasih kang Dana.. :D tapi kalau dibandingkan dengan yang lain, masih kerasa biasa-biasa aja kang Dana mimpinya.. hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2 Ide Abstrak

Tidak peduli apa yang orang katakan padamu, kata dan ide bisa mengubah dunia. (Robbin Williams Dari film Dead Poet's Society) Ngomong-ngomong tentang ide, saya punya dua ide abstrak. Bisa jadi dua ide ini beberapa tahun yang akan datang akan menjadi kenyataan dan akan kita temui di dunia nyata. Dua ide yang mencuat dari pikiran saya itu adalah: 1. Ada alat yang bisa merekam mimpi manusia saat ia tertidur. 2. Ada alat yang bisa memanggil dengan kata kunci tertentu saat kita membaca Koran.  Baiklah, akan saya jelaskan dulu mengapa saya sampai punya dua ide itu. Pertama , saat saya atau kita semua dalam kondisi tidur, ada waktu dimana pikiran kita berada di dunianya sendiri, yakni dunia mimpi. Saat itu kita hidup di dunia kedua kita, alam mimpi. Berbagai macam hal tak terduga dan tak terdefinisi di dunia nyata akan kita temui dalam dunia kedua itu. Bahkan, bentuk-bentuk dan rupa-rupa manusia atau makhluk hidup lainnya tak menutup kemungkinan akan kita temui pula. Ambi

Dakwah Kontekstual di Era Digital

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Berkembangnya globalisasi di dunia ini baik dari segi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya telah menjadikan kehidupan manusia mengalami alienasi , keterasingan pada diri sendiri atau pada perilaku sendiri, akibat pertemuan budaya-budaya yang tidak sepenuhnya terintegrasi dalam kepribadian umat manusia. Selama masih ada manusia yang hidup di muka bumi ini, selama itu pula lah satu hal yang dinamakan Dakwah itu perlu ada bahkan wajib ada. Karena setiap muslim berkewajiban untuk berdakwah, baik sebagai kelompok maupun individu, sesuai dengan kemampuan masing-masing, dalam segi ilmu, tenaga, dan daya. Dengan derasnya arus globalisasi yang juga menimpa umat islam, pelaksanaan dakwah seperti mengejar layang-layang yang putus. Artinya hasil-hasil yang diperoleh dari dakwah selalu ketinggalan dibanding dengan maraknya kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah konsep dakwah yang sesuai dengan perkembangan

Mengukir Senja Di Suramadu #Part 2

Lomba Blog "Ide Untuk Suramadu" Mencari Sudut Terindah Deru mesin pesawat Air Asia mulai terdengar bising disertai tangisan seorang anak kecil, yang mengaku telinganya kesakitan. Beberapa kali kursi yang kududuki ikut sedikit berguncang, saat moncong kemudian diikuti badan pesawat mulai menyentuh gumpalan-gumpalan awan putih. Ketinggian pesawat juga mulai menurun perlahan. Dua orang pramugara dan tiga pramugari mulai berdiri dari tempatnya duduk. Mereka mulai menyisir semua tempat duduk penumpang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sembari terus melempar senyum, mereka berkata ramah, " Bapak, Ibu, penumpang pesawat Air Asia mohon semua alat elektroniknya dinonaktifkan. Dalam waktu lima belas menit lagi kita akan segera melakukan pendaratan. Dan mohon sabuk pengamannya dikenakan kembali. Terima kasih. " *Kurang lebih begitulah kata-kata yang kudengar dari mereka. Tapi jika kurang, ya bisa ditambah-tambah sendiri. Kalau lebih, simpan saja dah ya kelebihan