Langsung ke konten utama

Pengemis Kaya


Tidak semua pengemis adalah orang miskin. Dua pengemis, Walang bin Kilon, 54, dan Sa’aran, 60, adalah bukti nyata. Mereka justru merupakan jutawan yang menyimpan uang cash puluhan juta rupiah. Bahkan, mereka sudah membayar uang muka untuk ibadah haji pada 2019 sebesar Rp. 30 juta. (Jawa Pos, 29 November 2013)

Hasil dari mengemis memang sangat menggiyurkan. Bayangkan saja, hanya dalam waktu belasan hari, seorang pengemis sudah bisa mengumpulkan uang Rp. 4 juta. Setiap harinya ia bisa saja mendapat uang Rp 100 ribu hingga Rp. 200. Bahkan, saat hari-hari besar dalam sehari ia bisa meraup Rp. 1 juta. Belum lagi jika hari mereka mengemis adalah hari-hari di bulan Ramadhan, yang umumnya membuat umat Islam lebih sering bersedekah, karena menginginkan pahala yang berlipat ganda. Namun siapa menyangka jika ternyata, penghasilan pengemis pun kian berlipat ganda.
Pak Walang dan Kakek Sa’aran mungkin hanya dua pengemis diantara ribuan pengemis lain, yang biasa kita temukan di sekitar trotoar, tempat makan, pasar, dan tempat-tempat publik lainnya. Rela ‘bersandiwara’ demi meraup segepok uang. Walau harus berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer atau terbakar matahari. Asal bisa mengumpulkan setumpuk uang untuk dibawa pulang, ‘sandiwara’ itu hanyalah hal kecil.

Pengemis sudah menjadi patologi (penyakit) sosial. Meski pengemis selalu dikaitkan dengan kemiskinan ekonomi, namun nyatanya tidak semua pengemis adalah orang miskin. Kegiatan mengemis dan meminta-minta itu nyatanya juga bukan hanya karena alasan keterhimpitan ekonomi atau keterbatasan fisik semata. Akan tetapi hal lain seperti, tradisi suatu masyarakat yang menjadikan pengemis sebagai profesi, kurangnya sumber daya untuk memanfaatkan dan mengembangkan peluang yang ada, dan kondisi musiman, bahkan juga kebijakan pemerintah menjadi faktor lain penyebab orang memilih menjadi pengemis. Namun, ada juga faktor terpenting lainnya yang menjadikan seseorang rela menjatuhkan derajatnya menjadi pengemis adalah karena dia sudah kehilangan nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam hidupnya dan kemauan untuk berusaha serta bekerja keras melakukan hal lain yang lebih mulia.

Setiap perbuatan, gerakan, dan tingkah laku manusia itu pada dasarnya merupakan akibat dari tenaga-tenaga yang keluar dari dalam dirinya, yang disebut usaha. Usaha ini muncul dari dalam diri manusia, dan ditampilkan keluar dalam berbagai macam bentuk tingkah laku. Tingkah laku ini pada umumnya merupakan pengarahan diri ke arah sesuatu yang bermanfaat dan baik, dan penghindaran diri dari segala sesuatu yang merusak dan merugikan. Dalam setiap usaha juga terdapat pelahiran, pemakluman, pembukaan, pendesakan atau pelandaan keluar, menuju ke suatu arah dan tujuan, dan disertai keinginan pada sesuatu yang akan dicapai karena dianggap bernilai.

Hilangnya nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan hidup dan kemauan untuk berusaha, akan melahirkan individu-individu yang malas untuk berjuang dalam hidupnya. Karena kemauan dalam diri manusia pada dasarnya merupakan dorongan keinginan untuk merealisasikan diri, mengembangkan segenap kemampuan dan untuk meningkatkan taraf kehidupan. Kemauan juga merupakan tenaga pengarah pada pemilihan nilai-nilai, sekaligus juga menjadi pendukung dari aktivitas susila atau perbuatan-perbuatan baik, serta menghindari perbuatan jahat. Jika kemauan itu kurang disadari maka kehendak sampingan yang kecil dan tidak pokok akan berkuasa dan menentukan tingkah laku, hal inilah yang terjadi pada para pengemis tersebut.

Mereka yang menganggap nilai uang itu tinggi, tapi tidak disertai dengan usaha dan kerja keras untuk mendapatkannya, hanya akan melakukan hal kecil yang tidak membutuhkan modal banyak, baik berupa tenaga maupun materi untuk melakukannya. Namun tidak sedikit ternyata kegiatan mengemis itu yang telah dijadikan sebagai sesuatu yang bernilai komoditas demi mendapatkan uang. Eksploitasi besar-besaran terhadap belas kasihan adalah produk utama dari komoditas ini. Bahkan tidak jarang pula ditemui pengemis-pengemis yang diorganisir oleh oknum tertentu, hingga oknum tersebut memiliki kekayaan dari para pengemis yang dikelolanya. Inilah yang kemudian menjadikan kegiatan mengemis sebagai patologi sosial.

Para pengemis itu sebenarnya bukan miskin materi, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang miskin mental dan motivasi. Mereka yang lebih memilih kegiatan meminta-minta sebenarnya bukan sedekah yang mereka butuhkan, akan tetapi motivasi untuk membangkitkan kemauan dan semangat untuk melakukan pekerjaan lain yang halal dan lebih mulia, serta tidak menularkan penyakit atau jiwa pengemisnya pada orang lain. Jika kemauan untuk berusaha dan bekerja dengan keringat sendiri telah ada, maka akan menjadi mudah mengarahkan dan memasukkan kembali nilai-nilai kehidupan yang telah hilang dari diri mereka, serta menyediakan lapangan pekerjaan baru yang halal dan mulia terhadap mereka. Karena berusaha, meski hanya dengan pendapatan yang pas-pasan akan lebih terhormat daripada hanya menengadahkan tangan meminta belas kasih dan kucuran rejeki dari orang lain. Dan setidaknya, kucuran keringat dan air mata orang yang bekerja, lebih mulia dan lebih bernilai di sisi Allah swt.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengukir Senja Di Suramadu #Part 2

Lomba Blog "Ide Untuk Suramadu" Mencari Sudut Terindah Deru mesin pesawat Air Asia mulai terdengar bising disertai tangisan seorang anak kecil, yang mengaku telinganya kesakitan. Beberapa kali kursi yang kududuki ikut sedikit berguncang, saat moncong kemudian diikuti badan pesawat mulai menyentuh gumpalan-gumpalan awan putih. Ketinggian pesawat juga mulai menurun perlahan. Dua orang pramugara dan tiga pramugari mulai berdiri dari tempatnya duduk. Mereka mulai menyisir semua tempat duduk penumpang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sembari terus melempar senyum, mereka berkata ramah, " Bapak, Ibu, penumpang pesawat Air Asia mohon semua alat elektroniknya dinonaktifkan. Dalam waktu lima belas menit lagi kita akan segera melakukan pendaratan. Dan mohon sabuk pengamannya dikenakan kembali. Terima kasih. " *Kurang lebih begitulah kata-kata yang kudengar dari mereka. Tapi jika kurang, ya bisa ditambah-tambah sendiri. Kalau lebih, simpan saja dah ya kelebihan...

Pesan Dari Orang Asing

Beberapa hari yang lalu, tiba-tiba ada pesan masuk di inbox facebook milikku. Bukan pesan dari teman-teman yang terdaftar jadi temanku di fb. Tapi pesan itu datangnya dari seseorang yang belum aku kenal, dan dilihat dari namanya, itu seperti nama orang luar negeri. Dia pun mengirimkan pesan dalam bahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang terbatas ini, aku hanya mengerti bahwa dia ingin berkenalan denganku dan ingin mengirimkan pesan berikutnya melalui email. Awalnya perkenalan berjalan lancar sebagaimana mestinya. Dia seorang perempuan yang mengaku berasal dari negara Sudan, Afrika. Tapi kemudian dia berada di kamp sementara di Negara Senegal. Karena menurut yang ia ceritakan, ayah dan ibunya meninggal dunia saat terjadi kerusuhan di negara Sudan. Hingga akhirnya ia mengungsi ke Negara Senegal. Setelah menceritakan tentang kondisi keluarganya, ia memintaku untuk menceritakan padanya tentang diriku. Apa yang aku sukai, apa yang tidak aku sukai, hobi, dan aktivitasku s...

Tulisan Beritaku Dimuat Di Media Online…

Nggak nyangka..benar-benar nggak nyangka. Tulisan berita tentang Langgam Jawa yang kemarin aku buat ditemani sedikit rasa kantuk, ternyata dimuat dibeberapa media berita online. Mungkin ini salah satu keuntungannya aku berada di biro humas UMY. Meski hari pertama aku kaget dan sedikit syok mungkin. Sebab, baru hari pertama sudah disuruh untuk membuat berita. Memang sih, di bangku kuliah aku sudah mendapatkan materi kulih tentang teknik reportase, penulisan berita, penataan surat kabar, editing dan formatologi, tapi tetap saja aku masih kaget. Mungkin karena jangka waktu atau deadline pengumpulan beritanya berbeda, jadi sedikit membuatku syok. Jika di kuliah deadline berita itu 1 minggu, tapi kalau di biro humas ya 1 hari itu juga.. Tapi dari sini aku ternyata bisa belajar, bagaimana aku harus bisa menyelesaikan tulisan berita yang ditugaskn untuk selesai pada hari itu juga. Rasa kantuk, mandek mau nulis apa lagi, perut keroncongan, merasa kurang informasi pendukung beri...