Langsung ke konten utama

Mengukir Senja Di Suramadu #Part 2

Lomba Blog "Ide Untuk Suramadu"

Mencari Sudut Terindah



Deru mesin pesawat Air Asia mulai terdengar bising disertai tangisan seorang anak kecil, yang mengaku telinganya kesakitan. Beberapa kali kursi yang kududuki ikut sedikit berguncang, saat moncong kemudian diikuti badan pesawat mulai menyentuh gumpalan-gumpalan awan putih. Ketinggian pesawat juga mulai menurun perlahan. Dua orang pramugara dan tiga pramugari mulai berdiri dari tempatnya duduk. Mereka mulai menyisir semua tempat duduk penumpang yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sembari terus melempar senyum, mereka berkata ramah, "Bapak, Ibu, penumpang pesawat Air Asia mohon semua alat elektroniknya dinonaktifkan. Dalam waktu lima belas menit lagi kita akan segera melakukan pendaratan. Dan mohon sabuk pengamannya dikenakan kembali. Terima kasih." *Kurang lebih begitulah kata-kata yang kudengar dari mereka. Tapi jika kurang, ya bisa ditambah-tambah sendiri. Kalau lebih, simpan saja dah ya kelebihannya. Hehehe.

9 Mei 2014 itu menjadi kali keduanya aku menaiki pesawat. Karena yang pertama tentunya saat aku melakukan perjalanan ke Makassar, Sulawesi Selatan, tepatnya pada tanggal 5 Mei 2014. Dan, tanggal 9 Mei itu menjadi hari kepulanganku ke Jawa. Aku benar-benar menikmati detik-detik perjalanan dari Jogjakarta, Surabaya, lalu Makassar. Begitu juga sebaliknya. Tapi yang paling kunikmati adalah sensasi saat pertama kali menaiki kendaraan bersayap besi ini. Apalagi sebelumnya aku sudah bertanya pada seseorang yang sudah pernah menaiki burung besi ini selama hampir 10 jam, dari Bandara Internasional Soekarno Hatta-Jakarta ke Bandara Internasional Incheon-Korea Selatan. Kutanyakan padanya bagaimana rasanya naik pesawat. *Karena setahuku, dia juga baru pertama kali itu naik pesawat. Dan kalian tahu, apa yang dijelaskannya padaku? Cukup simpel jawabannya, "Seperti naik burung," katanya. Hehe *tersenyum manis.

Ah, tapi bukan ini yang ingin kuceritakan pada kalian. Untuk cerita Jogja-Surabaya-Makassar, tunggu sesi berikutnya saja ya. Oke. :)

Oke, kembali pada fokus utama. 

Saat aku masih berada di atas awan, *di dalam pesawat maksudnya*, pandanganku tak pernah beralih dari eloknya ciptaan Tuhan. Apalagi kala itu tempat dudukku berada tepat di samping jendela. Ini semakin membuatku leluasa melihat cakrawala, hamparan lautan yang biru, pegunungan yang mencoba menantang langit, dan pulau Jawa yang perlahan juga semakin terlihat indah dari angkasa. Hatiku tak hentinya berdecak kagum menikmati kecantikan alam raya ini. Jiwaku semakin terlarut dalam buai pesona hamparan keajaiban Tuhan. Tapi kemudian, tak berapa lama, pikiranku tersentak dan mulai mengingat keindahan di sisi lain bumi nusantara ini. "Aku ingin melihat jembatan Suramadu dari atas ketinggian." Semakin kucondongkon tubuh ini ke sisi jendela. Aku tak ingin melewatkan pemandangan yang bagiku cukup langka ini. Hingga akhirnya, apa yang kucari terjamah oleh mata ini. 

Kutemukan sosok jembatan anggun yang melintasi selat Madura itu. Tak kusia-siakan lagi kesempatan itu. Kupandangi dengan seksama keindahan jembatan yang dinaungi awan pagi. Melukis panorama alami yang membentang antara Madura dan Surabaya. Seketika itu juga, kehendakku untuk menunjukkan secara lebih dekat jembatan Suramadu itu semakin tak terbendung. Aku ingin, temanku yang saat itu juga pergi bersamaku tahu, inilah salah satu kebanggaan dan icon baru orang Madura dan Surabaya-Jawa Timur.

Jembatan Suramadu dipotret dari dalam pesawat
Sebelumnya, saat kami berdua tengah berada di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin-Makassar menunggu jadwal keberangkatan pesawat ke Surabaya, aku berkata padanya untuk mampir dulu di rumahku, di Madura. Kuberikan alasan padanya, jika kami berdua langsung melanjutkan perjalanan ke Jogjakarta maka kemungkinan kami akan sampai Jogja tengah malam. Karena perjalanan ke Jogja akan kami tempuh dengan bus. 

"Anin, gimana kalau nanti kita nginap dulu di rumahku? Semalam aja. Karena kalau nanti kita langsung berangkat lagi ke Jogja, kemungkinan kita sampai di sana tengah malam. Lagi pula, kamu belum pernah ke Madura kan?! Hitung-hitung jalan-jalan lagi, kayak pepatah 'sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui', pulau Jawa, Sulawesi, dan Madura," kataku pada teman perempuanku itu, sambil terkekeh.

"Oh iya mbak, boleh juga tuh. Aku emang belum pernah ke Madura. Nanti kita lewat Suramadu juga kan? Aku pingin tahu Suramadu secara langsung," jawabnya antusias.

"Oke, beres kalau itu. Nanti aku bilang sama adikku yang jemput, biar kita lewat Suramadu,"  balasku lagi. Tapi saat berkata begitu, perasaan was-was justru muncul. "Wah...nanti kalau tiba-tiba Anin minta foto pas lagi di Suramadu, bagaimana???" aku membatin. Membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi, aku harus bagaimana, aku masih belum tahu. Biarlah waktu yang akan menjawabnya, pikirku. 

Dua jam kemudian, sesampainya di Bandara Internasional Juanda-Surabaya, kami berdua masih melanjutkan perjalanan menuju terminal Purboyo. Terminal yang terletak antara kota Sidoarjo dan Surabaya. Barulah ketika sampai di terminal itu, kedua adik laki-lakiku sudah menunggu kedatangan kami berdua. Berteman dengan dua buah motor matic, kami berempat melaju lagi di tengah hiruk pikuk kota Surabaya. Tujuan kami hanya satu saat itu, melewati jembatan Suramadu untuk sampai di gubuk kami, home sweet home

Jarum jam di tangan sudah menunjuk ke angka 10 pagi. Baru setengah jam perjalanan yang kami tempuh, sejak jam 9.30 sebelumnya kami melangkah pergi dari terminal. Perjalanan pulang menuju Madura kali itu terasa sedikit lebih lama. Entah itu hanya perasaanku saja atau bukan. Yang jelas hari Jum'at pagi menuju siang kali itu, terik mentari yang menyembul di tengah keramaian kota Surabaya, terasa amat begitu menyengat dan menembus kulit. Ingin rasanya diri ini segera menghilang dari kegaduhan arus kota. Dan menikmati sajian makanan ibuku tersayang, yang selalu disiapkannya saat anak perempuannya ini pulang dari tanah rantau.

Lima belas menit kemudian, saat mata ini menangkap pemandangan sekitar yang sudah tak asing lagi, aku sedikit berteriak pada Anin, "Bentar lagi kita bakal masuk ke area jembatan Suramadu, Nin."

Anin yang memegang kendali motor menoleh sekilas padaku yang duduk tepat di belakangnya. Ia kemudian mengangguk dan berkata, "Iya kah mbak? Ntar fotoin Anin ya pas di Suramadu."

Nah lho, aku bilang juga apa. Beneran dah tuh si Anin minta foto pas di Suramadu. "Ee...?! I-iya, oke. Nanti kita lihat-lihat dulu di mana bisa ambil foto." Duh, di mana ya ada tempat yang bagus buat ambil foto? Gimana juga aku bisa bilang sama adikku yang udah agak jauh di depan sana, buat berhenti sebentar?

Belum kelar juga otakku berputar-putar mencari cara dan lokasi yang cocok untuk berfoto, tiba-tiba Anin berseru lagi. "Mbak, nanti fotoin Anin waktu lagi naik motor ini pas di jembatannya ya!"

What!!! nggak salah dengar ya aku?! "Hehe... Ya," terpaksa kujawab dengan singkat. Bukan hanya singkat, tapi ada nada getir yang juga turut dalam ucapanku.

Setibanya di jalur utama jembatan, tepatnya beberapa meter sebelum tiba di bawah kaki menara jembatan Suramadu, aku terpaksa mengeluarkan kata-kata yang menyesakkan pada Anin. Kenapa menyesakkan? Karena aku sendiri pun belum pernah memiliki potret diri saat sedang melewati jembatan Suramadu. Jangankan saat melewati, foto berlatar jembatan Suramadu pun aku tak punya. Sungguh kasihan, bukan?! "Ah tapi sudahlah, barangkali lain waktu bisa punya." Kata-kata itu yang selalu aku ucapkan pada diri sendiri, saat sedikit meratapi apa yang terjadi.

Kembali pada kisahku dan Anin. Dengan sedikit terbata, aku berkata padanya, "Anin, kayaknya kita nggak bisa berhenti di sini buat ambil foto. Tuh, ada patroli polisi di depan sana," kataku pada Anin, sembari mengangkat jari telunjuk, pasrah. Bisa dikatakan itu sedikit alasanku untuk mencoba mentaati aturan yang berlaku.

"Emangnya kita nggak boleh berhenti bentar buat foto ya, Mbak?!"

"Nggak boleh, Nin..."

"Hm... Ya udah deh kalau gitu. Mbak fotoin jembatannya aja ya, buat bukti kalau Anin sudah pernah nyampe dan lewat di Suramadu," pintanya tanpa menunjukkan nada kesal ataupun kecewa. Tapi, siapa pula yang tahu jika mungkin saja, ada rasa kecewa yang menyelinap di hatinya. Namun Anin nampaknya tak mau menunjukkan hal itu di hadapanku. Apalagi dengan posisi dirinya yang saat itu membelakangiku. Sudah jelas aku tak kan bisa membaca raut wajahnya yang sebenarnya.

Tak mau menambah rasa kecewanya lagi, segera kurogohkan tangan ini ke dalam tas Anin, dan mengambil sebuah kamera DSLR miliknya. Aku mencoba memenuhi permintaannya. Memotret jembatan Suramadu dari bidikan lensa yang kugenggam. Sambil sesekali aku mencari-cari sudut terindah, yang mungkin saja bisa menjadi tempat terindah bagiku dan semua orang, untuk memotret dan merekam jejak kita di Surabaya, Madura, dan Jembatan Suramadu.

Saat aku mulai membidikkan lensa pada sebuah titik, tak dinyana "ide liar"ku mulai berkelebat. Membayangkan sebuah kota metropolitan di pinggir laut. Bangunan-bangunan rumah bertingkat bergaya modern, berdiri dengan megahnya di sebelah kiri jembatan Suramadu sisi Surabaya. Rumah-rumah yang berdiri itu juga tak seperti rumah yang umumnya sering kutemui di negeri tercinta ini. Hampir di semua rumah yang kulihat, ada bagian atapnya yang dibiarkan terbuka begitu saja. Seolah-olah aku bisa berdiri, duduk bahkan tidur di atasnya sambil memandangi langit malam yang bertabur bebintang, dan memikmati indahnya kerlap-kerlip lentera yang menghiasi jembatan Suramadu tatkala malam hari. Tak berhenti di situ saja, kulihat kemudian di setiap sudut atap itu bertabur keindahan bunga yang sengaja ditata dengan rapi. Dan bisa kurasakan, kaki ini berpijak di atas rerumputan lembut bak permadani yang digelar menutupi lantai.

Bebangunan yang kulihat itu benar-benar seperti sebuah rumah dalam sebuah film drama Korea "Rooftop Prince". Setiap saat dan setiap orang bisa menikmati indahnya udara bebas dari atas rumahnya sendiri. Kemudian, apa yang kulihat berikutnya dari balik dan lapis dimensi bidikan lensa itu adalah, sebuah pemandangan yang cukup mengejutkan. Beberapa orang terlihat beterbangan di atas langit selat Madura. Beberapa bahkan terlihat seperti sedang mengikuti kita yang berjalan perlahan melalui jembatan Suramadu. Tapi mereka melakukannya tepat di atas dan di sisi jembatan. Mereka melayang-layang bebas sambil sesekali tersenyum pada semua pengendara yang melaluinya. Mereka nampaknya bukan atlet paralayang atau terjun payung, karena yang kulihat ada beberapa dari mereka terbang berdua dalam satu tali. Ah ya, mungkin satu guide dan satu lagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan Surabaya, Madura dan jembatan Suramadu dari atas ketinggian.

Lalu, saat kulebarkan pandangan dan menoleh ke belakang ada sebuah gundukan tanah yang cukup besar, tepat beberapa meter dari arah perumahan modern itu. Beberapa orang terlihat tengah mempersiapkan dirinya untuk meluncur dari atas gundukan itu. Mereka bersiap meluncur laksana sang burung yang akan menjelajahi cakrawala. Berbekal tas yang cukup besar, tali dan parasut, mereka mulai menyeret kakinya dari tanah dan siap mengudara. Satu hal lagi yang tak luput dari penglihatanku, beberapa kotak-kotak besar berjalan sendiri di atas ketinggian. Melewati kota metropolitan Surabaya di pinggir selat, landasan paralayang, kawasan paantai yang berada di sebelah kanan jembatan, dan pelabuhan perahu hias yang ramai saat senja dan malam tiba. Di pelabuhan itulah sebuah menara berdiri, tampaknya sebagai pelabuhan dari kotak-kotak yang berisi manusia itu. Namun kotak-kotak yang kulihat itu ternyata bukanlah sembarang kotak. Karena ia bisa menampung empat orang di dalamnya, sudah barang tentu kotak itu adalah kereta gantung. Sebuah kendaraan di atas ketinggian yang belum pernah kurasakan dan kutumpangi.

Waw, sungguh indah pemandangan di pinggiran kota Surabaya ini. Sekalipun terletak di kawasan selat dan jembatan, tapi suguhan yang diberikan sungguh istimewa. Andai apa yang aku lihat itu nyata.

*bersambung*

Ohya, yang belum baca part 1 bisa baca di sini ya. :) part 3 nya sudah ada di sana ^_^

Nah, kalau yang di bawah ini foto-foto koleksi pribadi waktu kita menyebrangi selat Madura lewat Jembatan Suramadu.

Mencoba memotret selat Madura dari atas jembatan Suramadu


Berpose "Mencoba menggapai Suramadu"




Detik-detik saat melewati Jembatan Suramadu





Menara Jembatan sudah mulai terlihat



Para pengedara motor yang juga melewati jembatan



Ini dia menara Jembatan Suramadu



Mengintip menara Suramadu dari balik kaca spion



Pulau Madura terlihat dari jembatan Suramadu



Tiba di Tanah Madura



Para pedagang yang menjual makanan, baju, kain, dan barang2 khas Madura


Kalau foto di bawah ini, bukan koleksi pribadi. Tapi diambil dari website lain, untuk gambaran saja. ^_^

Ini salah satu contoh atau gambaran rumah "rooftop" diambil dari http://www.secretgardens.com.au/portfolio/city-rooftop-garden/

Foto ini juga hanya gambaran saja untuk mendukung ideku yang pingin ada kawasan wisata paralayang di daerah Jembatan Suramadu. Gambar ini diambil dari http://beritadaerah.co.id/wp-content/uploads/2014/06/Penyisiran-Jembatan-Suramadu-270614-SYT-4.jpg




Komentar

  1. Wonderful trip! We just should explore Madura more and more. There are many beautiful things we can find then. Never stop enjoying Madura. Nice post ^^b

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you miss Sheila.. :) I agree with you. Maybe we can find the beautiful place together. Hehehehe :D

      Hapus
    2. Because we are Madurese people ^_^

      Hapus
    3. O ya...?! Are you from Madura too? May i know, where are you from? Bangkalan, Pamekasan, Sampang, or Sumenep? :D

      Hapus
    4. I come from Pamekasan ^_^

      http://shevelina.blogspot.com/2014/12/ke-suramadu-yuk.html

      Hapus
    5. oh ya, i know you from Lia Kaulina. She is your friends, right? :D

      Hapus
  2. Wah sekarang lebih hebat, banyak fotonya, inspiratif, saya jadi benar-benar merasa jalan-jalan ke sana. Benar juga kata filsuf china, gambar seribu kali kata-kata

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe... kata-kata emang terbatas toh kang Dana Asmara. :D

      Hapus
  3. Sayang, Mbak. Coba ambil fotonya pas shubuh atau senja. Aku nyesel enggak sempat mengabadikan itu. Bawa dua anak yang kecapekan soalnya, hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Ul, aku belum berhasil ngambil foto pas senja waktu lagi lewat Suramadu. Fotonya ngeblur semua.. Itu aja fotonya pas baru balik dari Makassar, nyampe Suramadu udah jam 10an, jadi pas terang benderang begitu dah.. :D hehe

      Hapus
  4. Sheila itu temen aku mbak.....yang ngasih tau info lomba ini.hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2 Ide Abstrak

Tidak peduli apa yang orang katakan padamu, kata dan ide bisa mengubah dunia. (Robbin Williams Dari film Dead Poet's Society) Ngomong-ngomong tentang ide, saya punya dua ide abstrak. Bisa jadi dua ide ini beberapa tahun yang akan datang akan menjadi kenyataan dan akan kita temui di dunia nyata. Dua ide yang mencuat dari pikiran saya itu adalah: 1. Ada alat yang bisa merekam mimpi manusia saat ia tertidur. 2. Ada alat yang bisa memanggil dengan kata kunci tertentu saat kita membaca Koran.  Baiklah, akan saya jelaskan dulu mengapa saya sampai punya dua ide itu. Pertama , saat saya atau kita semua dalam kondisi tidur, ada waktu dimana pikiran kita berada di dunianya sendiri, yakni dunia mimpi. Saat itu kita hidup di dunia kedua kita, alam mimpi. Berbagai macam hal tak terduga dan tak terdefinisi di dunia nyata akan kita temui dalam dunia kedua itu. Bahkan, bentuk-bentuk dan rupa-rupa manusia atau makhluk hidup lainnya tak menutup kemungkinan akan kita temui pula. Ambi

Dakwah Kontekstual di Era Digital

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Berkembangnya globalisasi di dunia ini baik dari segi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya telah menjadikan kehidupan manusia mengalami alienasi , keterasingan pada diri sendiri atau pada perilaku sendiri, akibat pertemuan budaya-budaya yang tidak sepenuhnya terintegrasi dalam kepribadian umat manusia. Selama masih ada manusia yang hidup di muka bumi ini, selama itu pula lah satu hal yang dinamakan Dakwah itu perlu ada bahkan wajib ada. Karena setiap muslim berkewajiban untuk berdakwah, baik sebagai kelompok maupun individu, sesuai dengan kemampuan masing-masing, dalam segi ilmu, tenaga, dan daya. Dengan derasnya arus globalisasi yang juga menimpa umat islam, pelaksanaan dakwah seperti mengejar layang-layang yang putus. Artinya hasil-hasil yang diperoleh dari dakwah selalu ketinggalan dibanding dengan maraknya kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi dalam masyarakat. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah konsep dakwah yang sesuai dengan perkembangan