Beberapa hari yang lalu saya pernah mendapatkan broadcast dari salah satu grup di media sosial. Hari ini saya juga membaca hal serupa seperti broadcast tersebut dari koran Jawa Pos, edisi Rabu 5 Agustus 2015. Inti dari broadcast dan berita itu adalah, pemerintah ingin menghidupkan kembali salah satu pasal di Undang-Undang negara mengenai penghinaan terhadap Presiden.
Mengutip dari salah satu sumber berita nasional online (sindonews.com), pemerintahannya Pak Jokowi ini ingin menghidupkan aturan itu lagi. Aturan tentang menghina presiden ini pun rupanya sudah dicantumkan dalam draf revisi KUHP Bab II mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bunyi aturan itu kurang lebih seperti ini:
(1). Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Itu baru bunyi aturan yang di pasal 263. Pasal 264, bunyinya agak berbeda lagi,
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sudah, itu saja bunyi aturannya. Sebagai orang yang awam tentang politik dan dunia kepemerintahan di negara tercinta ini, dengan adanya hal semacam ini saya jadi berpikir, apakah kita ini mau dibawa kembali ke masa orde dulu? Masa di mana mulut rakyat kecil dan menengah dibungkam. Media-media massa pun semakin dinina bobokkan dengan riuh rendah suara penguasa, agar terlihat manis di hadapan rakyatnya.
Kalau saya mah, ogah. Masa iya kita yang udah ada di masa sekarang ini disuruh menemui masa lalu lagi. Memangnya kita bisa berjalan mundur? Lha wong kita ini manusia, bukan undur-undur. Tahu undur-undur kan?! Iya, itu hewan yang jalannya suka mundur-mundur itu. Nggak lucu kan kalau kita disamain dengan undur-undur.
Berbicara masalah aturan itu lagi, tadi waktu saya menuliskan bunyi aturan yang ayat (1) itu, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, "Wah, ini tantangan buat mahasiswa dan rakyat yang suka demo di jalan raya. Mereka harus benar-benar hati-hati untuk menyampaikan aspirasinya di muka umum. Apalagi kita juga pastinya belum bisa memastikan apakah kritikan dan aspirasi yang kita sampaikan itu benar-benar dianggap kritikan membangun oleh pak Pres dan Wapres, atau malah sebaliknya, dianggap sebagai hinaan." (Bagaimana menurut Anda-Anda semua?)
Lanjut ke ayat (2), jujur saya malah jadi dibuat bingung dengan bunyi aturan itu. Kalau dibilang itu antitesis, sepertinya nggak gitu juga ya. Lantas apa kalau gitu ya? Hmm..
Nah, berikutnya pasal 264. Ini juga benar-benar jadi tantangan bagi mereka yang suka membuat meme. Kenapa bisa begitu? Karena tidak jarang juga saya temui meme-meme yang mengkritik pemerintah atau suatu kebijakan itu, muncul di media-media sosial. Kalau aturan semacam ini beneran hidup lagi (kayak di edo tensei aja nih aturan), yang pada suka bikin meme juga kudu cermat dan hati-hati, biar nggak ada orang yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan melaporkan kalau dia udah menghina pak Pres dan Wapres, padahal kenyataannya mah ya nggak berniat untuk menghina.
Sungguh aturan yang benar-benar merepotkan dan tak dirindukan bagi orang yang sukanya 'cerewet' dan 'bawel' dengan kebijakan pemerintah. Salah ucap sedikit, udah dianggap menghina. Mereka yang kerjanya di bagian media massa sepertinya juga kasihan, karena mereka harus menuruti apa kata penguasa. Memang, lebih baiknya aturan semacam ini 'disegel' lagi saja. Agar semua rakyat Indonesia ini selamat dari 'edo tenseinya' aturan tentang penghinaan terhadap pak Pres dan Wapres itu. Setuju...??
Mengutip dari salah satu sumber berita nasional online (sindonews.com), pemerintahannya Pak Jokowi ini ingin menghidupkan aturan itu lagi. Aturan tentang menghina presiden ini pun rupanya sudah dicantumkan dalam draf revisi KUHP Bab II mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bunyi aturan itu kurang lebih seperti ini:
(1). Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Itu baru bunyi aturan yang di pasal 263. Pasal 264, bunyinya agak berbeda lagi,
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Sudah, itu saja bunyi aturannya. Sebagai orang yang awam tentang politik dan dunia kepemerintahan di negara tercinta ini, dengan adanya hal semacam ini saya jadi berpikir, apakah kita ini mau dibawa kembali ke masa orde dulu? Masa di mana mulut rakyat kecil dan menengah dibungkam. Media-media massa pun semakin dinina bobokkan dengan riuh rendah suara penguasa, agar terlihat manis di hadapan rakyatnya.
Kalau saya mah, ogah. Masa iya kita yang udah ada di masa sekarang ini disuruh menemui masa lalu lagi. Memangnya kita bisa berjalan mundur? Lha wong kita ini manusia, bukan undur-undur. Tahu undur-undur kan?! Iya, itu hewan yang jalannya suka mundur-mundur itu. Nggak lucu kan kalau kita disamain dengan undur-undur.
Berbicara masalah aturan itu lagi, tadi waktu saya menuliskan bunyi aturan yang ayat (1) itu, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, "Wah, ini tantangan buat mahasiswa dan rakyat yang suka demo di jalan raya. Mereka harus benar-benar hati-hati untuk menyampaikan aspirasinya di muka umum. Apalagi kita juga pastinya belum bisa memastikan apakah kritikan dan aspirasi yang kita sampaikan itu benar-benar dianggap kritikan membangun oleh pak Pres dan Wapres, atau malah sebaliknya, dianggap sebagai hinaan." (Bagaimana menurut Anda-Anda semua?)
Lanjut ke ayat (2), jujur saya malah jadi dibuat bingung dengan bunyi aturan itu. Kalau dibilang itu antitesis, sepertinya nggak gitu juga ya. Lantas apa kalau gitu ya? Hmm..
Nah, berikutnya pasal 264. Ini juga benar-benar jadi tantangan bagi mereka yang suka membuat meme. Kenapa bisa begitu? Karena tidak jarang juga saya temui meme-meme yang mengkritik pemerintah atau suatu kebijakan itu, muncul di media-media sosial. Kalau aturan semacam ini beneran hidup lagi (kayak di edo tensei aja nih aturan), yang pada suka bikin meme juga kudu cermat dan hati-hati, biar nggak ada orang yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan melaporkan kalau dia udah menghina pak Pres dan Wapres, padahal kenyataannya mah ya nggak berniat untuk menghina.
Sungguh aturan yang benar-benar merepotkan dan tak dirindukan bagi orang yang sukanya 'cerewet' dan 'bawel' dengan kebijakan pemerintah. Salah ucap sedikit, udah dianggap menghina. Mereka yang kerjanya di bagian media massa sepertinya juga kasihan, karena mereka harus menuruti apa kata penguasa. Memang, lebih baiknya aturan semacam ini 'disegel' lagi saja. Agar semua rakyat Indonesia ini selamat dari 'edo tenseinya' aturan tentang penghinaan terhadap pak Pres dan Wapres itu. Setuju...??
Komentar
Posting Komentar