Hari Raya Idul Adha selalu identik dengan penyembelihan kurban. Sama halnya seperti Hari Raya Idul Fitri, hari raya ini juga selalu aku rindukan. Terutama bersama keluarga di rumah. Hari Raya Idul Adha memang berbeda dengan Idul Fitri, karena pada hari raya ini tidak ada acara salam-salaman dan bertamu ke sanak saudara, tetangga, atau teman. Tapi pada hari raya ini semua umat Islam yang memperingati Idul Adha sibuk melakukan penyembelihan hewan kurban.
Selama ini, aku menjalani hari raya Idul Adha ini di tempat yang berbeda-beda. Selain di kampung sendiri, aku juga pernah menjalaninya di pesantren tempatku dulu menimba ilmu agama, di rumah teman seangkatan kuliah, di panti asuhan, dan di asrama mahasiswa tempatku berada saat ini. Namun tetap saja ada hal yang membedakannya antara perayaan Idul Adha di tempat-tempat itu dengan di kampung halamanku sendiri.
Mungkin di sini lebih enaknya akan aku ceritakan tentang perayaan Idul Adha di kampung halamanku, sekalipun sekarang aku tidak sedang berada di sana. Tapi ini cukup mewakili kerinduanku akan suasana Idul Adha di rumah.
Sebelum hari raya Idul Adha tiba, sanak saudara atau tepatnya keluarga dari ibuku, berembuk untuk memilih hewan apa yang akan dijadikan kurban. Selama bertahun-tahun lamanya, hewan kurban yang disembelih memang bukan dari satu keluarga saja. Tapi hasil patungan dari beberapa saudara kandung ibuku. Hewan kurban yang disembelih itupun tidak hanya untuk keluarga kami saja. Namun juga dibagikan pada tetangga-tetangga kami yang membutuhkan dan kurang mampu.
Proses penyembelihan hingga pemotongan daging pun, aku rasa sama seperti di tempat-tempat lainnya. Para lelakinya yang menyembelih dan menguliti hewan kurbannya, sementara itu para ibu yang memotong dan menimbang dagingnya. Selain itu, di sana ada remaja-remaja putra dan putri yang juga saudara-saudara sepupuku, ikut ambil bagian untuk membantu. Remaja putra membantu ayah dan paman-pamannya menguliti atau membuang kotoran dari hewan kurban itu. Sedang remaja putrinya membantu memasukkan daging yang sudah dipotong dan ditimbang ke dalam plastik-plastik untuk kemudian dibagikan. Ada pula dari ibu-ibu itu yang kebagian mencatat nama-nama sanak saudara dan tetangga yang kurang mampu.
Daging yang sudah berada dalam plastik itu kemudian dipisahkan sesuai kelompok keluarga atau tempat tinggalnya. Setiap keluarga mendapatkan 1 kg daging. Akan tetapi, untuk tetangga atau orang-orang yang kurang mampu, tidak mesti mendapatkan 1 kg daging. Mereka bisa saja mendapatkan 2 sampai 3 kg daging, sesuai dengan banyaknya anggota keluarga yang ditanggungnya.
Saat-saat seperti inilah yang juga aku tunggu-tunggu. Setelah semuanya dipisahkan berdasarkan kelompoknya masing-masing. Aku dan saudara-saudara sepupuku akan diberikan tugas untuk mengantarkan daging-daging itu ke rumah-rumah atau keluarga yang kurang mampu itu. Biasanya kami akan pergi berpasangan. Karena daging-daging yang kami bawa itu cukup berat jika hanya 1 orang yang membawanya. Sambil memegangi kertas yang sudah tertera nama-nama orang yang berhak menerima daging kurban itu, kami semuanya berpencar. Satu persatu keluarga kami datangi, mengucapkan salam pada mereka, kemudian memberikan daging kurban itu pada mereka.
Alangkah senangnya saat kami melihat kebahagiaan terpancar dari wajah mereka. Mungkin dalam hati, mereka sangat senang mendapatkan 1 kg daging itu. Apalagi kalau itu daging kambing atau sapi. Karena mungkin mereka tidak punya cukup uang untuk membeli daging itu. Dan tugas kami yang punya rizki lebihlah yang harus membagikannya pada mereka.
Sekembali dari satu kompleks rumah yang telah kami berikan daging kurban itu. Ibu, buddhe, dan bullek kami akan menanyakan, "Gimana? Sudah semua? Ada nggak orangnya?".
"Ada... kita kemana lagi habis ini Buddhe?" aku menjawab pertanyaan mereka sambil melontarkan pertanyaan lain.
Kami senang bisa ikut membantu dengan membagikan daging-daging kurban itu. Tapi kami lebih senang saat melihat orang yang mendapatkan daging kurban itu juga merasa senang, karena telah mendapatkan daging kurban itu untuk mereka santap bersama anggota keluarganya.
Tapi saat aku membaca koran hari ini, kemudian melihat sebuah foto yang memperlihatkan tangan-tangan terjulur dari luar pagar rumah seseorang sembari menunjukkan kartu yang entah itu identitas untuk apa, sementara satu tangan lainnya terjulur dari dalam pagar dengan menenteng sekantong plastik daging. Tiba-tiba dalam pikiranku terbesit kata-kata ini, "Ahh...kalau saja orang itu memberikan langsung daging itu ke rumah orang-orang yang ada di luar pagar itu, mungkin tidak akan ada orang yang meninggal terinjak karena mengantri daging kurban."
Komentar
Posting Komentar